Biar pun sudah mengeruk kekayaan alam Nusantara dan membangun benteng di negaranya, tapi Belanda tetap saja tidak puas. Jalur perjuangan Pangeran Diponegoro saat Perang Djawa di pantai selatan Jawa Tengah-DI Yogyakarta juga ditutupi dengan sebutan Jalan Daendels.
Padahal, jalan yang dibangun Daendels yang membentang dari Anyer (Banten) -- Panarukan (Jatim) sepanjang 1.000 km tidak disebut Jalan Daendels, tapi Jalan Raya Pos (De Grote Postweg).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun membangun jalan tol lintas Jawa dari Merak (Banten) sampai Banyuwangi (Jawa Timur). Jokowi juga membangun bandara internasional baru, disebut  Yogyakarta International Airport (YIA) di Kecamaan Temon, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, untuk mengalihkan penerbangan nasional dan internasional dari Bandara Adi Sutjipto.
Alangkah kerdilnya YIA jika disebut alamatnya ada di Jalan Daendels. Bisa saja ada anggapan pemerintah memanfaatkan nama Daendels untuk bandara baru tsb. Padahal, tidak ada satu pun alasan pembangunan YIA karena ada Jalan Daendels.
Jalan Daendel di selatan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sepanjang 130 km yang melintas di empat wilayah yaitu Kab Cilacap, Kab Kebumen dan Kab Purworejo (ketiganya di Jawa Tengah), Kab Kulon Progo dan Bantul (DI Yogyakarta).
Jalan Daendels jadi jalur pantai selatan (Pansela) yang dikenal juga sebagai jalan 'urut sewu' (Oeroet Sewu) di wilayah Kabupaten Kebumen. Di masa kekuasaan Mataram Islam jalur Urut Sewu dikenal sebagai daerah pungutan pajak di luar pusat pemerintahan Keraton Negaraagung. Warga yang melewati batas wilayah harus membayar pajak. Padahal, mereka melewati batas karena hendak ke lahan pertanian yang berada di luar wilayahnya.
Sedangkan jalur Pansela di Jateng dan DIY melewati Cilacap-Kebumen-Purworejo-Kulon Progo-Bantul. Disebut-sebut jalur Pansela ini dirancang oleh  Asisten Residen (Adsistent Resident) Hindia Belanda di Ambal, Augustus Derk Daendels. Dia dibantu oleh regent pribumi, Raden Tumenggung Purbanegara.
Jalur yang disebut warga sebagai Jalan Daendels adalah jalan yang dipakai Diponegoro pada Perang Djawa (De Java Oorlog) dalam perang gerilya melawan Belanda dan sebagai akses ke Bagelen, Purworejo. Jalan itu sendiri sudah dipakai oleh raja-raja sebelum dipakai Diponegoro. Perang Djawa berlangsung selama lima tahun dari 1825-1830.
Augustus memanfaatkan kondisi aman setelah perang selesai dengan penangkapan Diponegoro. Pada 1838 dia memugar jalur Diponegoro yang dipakai selama Perang Djawa. Sedangkan Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, De Grote Postweg, di tahun 1808.