Dikenal dua tipe PSK, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, pemandu lagu, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, mahsiswi, ayam kampus. Ada pula cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Orang-orang yang merasa tidak berisiko terjadi karena sejak awal epidemi informasi HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalntya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan lokalisasi pelacuran yang terntu saja terkait pula dengan PSK langsung.
Padahal, sejak penutupan lokalisasi pelacuran setelah era reformasi muncul prakek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung dengan berbagai modus, seperti melalui perangkat telepon dan media sosial. Beberapa kali polisi mengungkap prostitusi online di Aceh.
(Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]
Dalam beberapa pelatihan untuk penulisan berita HIV/AIDS yang berempati dengan dukungan, waktu itu, MAP (Medan Aceh Partnership) salah satu Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang bersedia sharing dengan wartawan dan aktivis LSM adalah seorang perempuan waga Aceh yang tertular HIV dari suaminya.
Dalam berita disebutkan Odha di Aceh, al. 20 persen kalangan ibu rumah tangga. Ini yang jadi persoalan besar, tapi luput dari perhatian.
Pertanyaannya adalah: apakah suami ibu-ibu rumah tangga tsb. menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka suami mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS apalagi istrinya lebih dari satu.
Pertanyaan lain adalah, apakah penularan HIV/AIDS pada warga Aceh hanya terjadi karena poin nomor 5, sebagai 'seks bebas' seperti dikatakan dr Imam?