MENOLAK SEGALA BENTUK AKTIVITAS DAN TINDAKAN LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER). LGBT ITU PENYAKIT BUKAN HAK ASASI MANUSIA "Kalian yang berdosa, kami yang kena azab". Ini adalah spanduk JURUSAN BIOLOGI, FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGER PADANG
Ada beberapa hal terkait dengan pernyataan di atas, yaitu:
Pertama, dengan menyebut 'menolak segala bentuk aktivitas dan tindakan LGBT' itu artinya yang ditolak adalah tindakan atau perbuatan LGBT. Tidak jelas tindakan atau perbuatan apa yang dimaksud dalam spanduk tsb.
Apakah mahasiswa dan civitas akademi Jurusan Biologi itu menolak usaha seorang waria (transgender) sebagai tukang rias atau pemotong rambut?
Tak kurang dari  Menristekdikti, M Nasir, yang mengatakan 'Kampus mestinya tidak dimasuki LGBT' (antaranews.com, 23/1-2016). Ini jelas tidak masuk akal sehat karena yang kasat mata hanya transgender, sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak kasat mata.
[Baca juga: LGBT Dilarang Masuk Kampus: LGBT Sebagai Orientasi Seksual atau Organisasi LGBT?]
Kedua, kalau yang dimaksud dengan 'menolak segala bentuk aktivitas dan tindakan LGBT' adalah aktivitas seksual, maka tindakan seksual yang selalu dikaitkan dengan LGBT, khususnya gay dan transgender yaitu seks anal dan seks oral, juga dilakukan oleh orang-orang yang bukan LGBT.
TIdak sedikit pasangan suami-istri yang melakukan seks oral dan seks anal. Ada juga kasus suami memaksa istri melakukan seks oral, bahkan dalam posisi "69".
Ketiga, LGBT sebagai orientasi seksual ada di alam pikiran. Adalah hal yang mustahil melarang setiap orang berpikir soal seks anak dan seks oral.
Maka, yang merupakan tindakan atau perbuatan yang melawan hukum adalah tindakan atau perilaku seksual yang mereka lakukan.
[Baca juga: LGBT Sebagai Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran]
Analoginya, seks oral dan seks anal pada laki-laki dan perempuan heteroseksual pun termasuk perbuatan melawan hukum. Bahkan, jika seorang suami memaksa istri seks oral atau seks anal itu merupakan perbuatan melawan hukum sebagai marital rape atau perkosaan dalam perkawinan.
Maka, amatlah naif peringatan Jurusan Biologi itu jika dibawa ke ranah realitas sosial karena yang bisa dikenali dengan mata telanjang hanyalah transgender atau waria. Betapa menyedihkan kalau seorang waria dilarang beraktivitas sebagai penata rias atau pemotong rambut.
[Baca juga: LGBT, Hanya Waria yang Kasat Mata]
Jika yang dimaksud tindakan seksual, maka banyak kalangan heteroseksual yang juga melakukan tindakan seksual seperti yang dilakukan LGBT. Di kalangan remaja yang pacaran juga sering terjadi seks oral dan seks anal untuk menghindari kehamilan. Apakah mereka ini termasuk dalam amar Jurusan Biologi itu?
Dalam epidemi HIV/AIDS belakangan ini muncul mitos bahwa yang menyebarkan HIV/AIDS adalah LGBT. Ini keliru karena yang potensial sebagai penyebar HIV/AIDS di masyarakat justru laki-laki dan perempuan heteroseksual.
[Baca juga: Sumbar "Memberantas" LGBT, Mengabaikan Laki-laki Heteroseksual sebagai Penyebar HIV/AIDS]
Penyebutan 'LGBT itu penyakit bukan hak asasi manusia' jika berdasarkan perilaku seksual tentulah laki-laki dan perempuan heteroseksual yang melakukan perbuatan LGBT, bahkan dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum, juga merupakan penyakit bukan hak sebagai seorang suami.
Apa kaitan antara LGBT sebagai orientasi seksual dengan dosa? Bagaimana pula dengan yang bukan LGBT tapi dalam pikirannya ada (seks) LGBT, apakah ini juga dosa? *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H