Jika bercermin kepada capaian Jokowi/JK selama 5 tahun, tentulah bisa dilihat prestasi nama-nama yang disebut LSI berpotensi sebagai calon presiden (Capres) pada Pilpres 2024. Dalam kaitan inilah, seperti disebut peneliti LSI ada satu nama Mr X atau Mrs Y sebagai 'the next Jokowi'.
Dalam wawancara dengan Harian "Kompas" Presiden Jokowi mengatakan bisa saja ada menteri pada rentang usia 20-25 tahun dengan catatan menguasai manajerial dan bisa mengeksekusi program. Selain itu juga disebutkan akan banyak menteri berumur 30-an tahun (kompas.com, 2/7-2019). Ini menunjukkan Jokowi akan menyiapkan kader-kader yang bisa mengikuti jejeknya sebagai 'the next Jokowi'.Â
Dalam kaitan inilah organ-organ relawan yang selama ini jadi pendukung militan Jokowi bisa berperan karena partai-partai pendudukung Jokowi, terutama PDI-P, bisa saja mempunyai capres sendiri yang belum tentu bisa diandalkan sebagai 'the next Jokowi'. Salah satu organisasi relawan penduduk Jokowi pertama di Indonesia (didirikan 15/6-2013) adalah Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) yang tersebar di 34 provinsi dan puluhan perwakilan di luar negeri.
[Baca juga: Bara JP 5 Tahun: Akan Terus Mendorong Perubahan]
Bara JP yang merupakan organisasi relawan tidak akan bisa mengusung Capres yang diniliai sebagai 'the next Jokowi' pada Pilpres 2024 jika hanya dengan status ormas (organisasi masyarakat). Soalnya, partai politik (parpol) akan mengusung Capres-nya sendiri dengan menggalang koaliasi yang belum tentu sejalan dengan misi Bara JP sebagai pendukung Jokowi dalam dua Pilpers yaitu 2014 dan 2019.
Dalam kaitan itulah organ relawan seperti Bara JP sudah saatnya memikirkan untuk meningkatkan kapasistas sebagai parpol agar bisa menggalang koalisi untuk memajukan Capres yang memenuhi kriteria 'the next Jokowi'. Beberapa organ relawan pendukung Jokowi lain juga sudah harus berpikir untuk merger dan membentuk parpol.
Hal lain yang jadi batu sandungan kelak adalah publikasi, khususnya di media online dan media sosial (medsos), karena bisa saja terjadi hiperrealitas (tidak bisa membedakan antara fakta dan fantasi). Publikasi di medsos tidak bisa dikontrol sehingga merebak tak terkendali. Publikasi yang tidak terkendali akan bermuara pada hiperrealitas.
[Baca juga: Ahok Vs Tri Rismaharini & Ridwan Kamil: Realitas Vs Hiperrealitas dan Paslon Nomor 1 Pilgub DKI Jakarta 2017 Korban Hiperrealitas]
Publikasi di medsos yang sangat gencar akan merugikan karena masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi mempunyai sumber informasi yang kredibel, seperti media mainstream, terutama media cetak. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H