Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Implikasi 5,3 Persen Kakek-Nenek dalam Populasi Indonesia

9 April 2019   16:22 Diperbarui: 9 April 2019   20:31 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), seperti dikutip bbc.com/indonesia (7/4-2019), menyebutkan untuk pertama kalinya dalam sejarah pada tahun 2018 populasi dunia jumlah penduduk yang berumur 65 tahun ke atas lebih banyak daripada jumlah balita (bayi di bawah lima tahun).

Data ini memperjelas perbandingan populasi kakek-nenek dengan balita: Saat ini 705 juta penduduk dunia berumur di atas 65 tahun, sedangkan yang berumur antara 0 -- 4 tahun 680 juta.

Studi PBB pun menyebutkan akan terjadi kesenjangan antara jumlah kakek-nenek dan balita yang lebar. Pada tahun 2050 diperkirakan perbandingan kakek-nenek dan balita adalah 2 : 1. Jurang yang lebar ini bisa terjadi, seperti diamati para ahli demografi selama beberapa dekade, mencerminkan kecenderungan di banyak negara warganya hidup lebih lama sebaliknya kelahiran sedikit.

Direktur Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington, AS, Christopher Murray, seperti dikutip "BBC" mengatakan: "Di masa mendatang hanya akan ada sedikit anak-anak dan banyak manula, dan ini akan sangat sulit untuk mempertahankan masyarakat global."

Sebelumnya, pada tahun 2018 Murray menulis sebuah makalah yang menyatakan bahwa lebih dari separuh negara-negara di dunia menghadapi baby bust yaitu jumlah anak-anak tidak cukup untuk mempertahankan jumlah populasi.

Murray memberikan gambaran: "Coba pikirkan dampak sosial dan ekonomi pada masyarakat di mana jumlah kakek-nenek lebih banyak daripada jumlah cucu-cucu."

Ilustrasi (Sumber: understandingchildhood.net)
Ilustrasi (Sumber: understandingchildhood.net)

Bank Dunia menyebutkan jika di tahun 1960-an tingkat kesuburan perempuan di dunia mendekati lima anak yang dilahirkan seorang perempuan, tapi 60 tahun kemudian angkanya turun drastis jadi 2,4 anak per perempuan.

Di sisi lain pada rentang waktu yang sama kemajuan sosial dan ekonomi meningkatkan rata-rata usia harapan hidup dari 52 tahun di tahun 1960 naik jadi 72 tahun di tahun 2017. Itu artinya banyak warga dunia yang hidup lebih lama sehingga membutuhkan dana pensiun dan pelayanan kesehatan yang panjang.

Negara-negara maju menghadapi persoalan penuaan yang lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang karena angka kelahiran yang rendah yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti alat kontrasepsi tersedia secara luas dan membesarkan anak memerlukan biaya yang besar.

Selain itu perempuan di negara maju juga cenderung melahirkan di usia yang lebih tua sehingga jumlah anak yang dilahirkan pun sedikit.

Kondisi populasi dunia yang lebih banyak kakek-nenek berdampak yang luas terhadap ekonomi, al. penurunan populasi akan mengurangi tenaga kerja yang produktif yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas ekonomi yang berakhir pada tekanan terhadap pertumbuhan.

Dengan tingkat kakek-nenek 5,3 persen dari populasi tentulah Indonesia juga sudah harus memikirkan dampak jumlah penduduk yang berusia lanjut karena terkait dengan biaya hidup dan kesehatan.

Pembiayaan kesehatan dengan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) melalui BPJS Kesehatan yang tiap tahun tekor kelak akan berdampak terhadap kakek-nenek. Sebagai pensiuan PNS/ASN tidak masalah karena iuran dibayarkan langsung dari dana pensiun.

Tapi, bagi bukan pensiunan dan warga miskin tentulah jadi beban bagi pemerintah yang harus membayar iuran. Salah satu sektor pengeluaran BPJS Kesehatan adalah biaya pengobatan penyakit tidak menular (degeneratif).

Prof Dr Ascobat Gani, MPH, DrPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI, menyebut selain penyakit menular ada penyakit degeneratif (penyakit yang tidak menular) menjadi persoalan besar di Indonesia, seperti darah tinggi, diabetes, dll. Untuk itulah Prof Ascobat, yang juga ikut dalam pokja Rumah Transisi Jokowi-JK, melihat perlu membalik pradigma berpikir terkait dengan pola hidup masyarakat.

[Baca juga: Jokowi: Empat Tahun Kita Swasembada Pangan]

Karena penyakit degeneratif bisa ditangani di awal, maka Prof Ascobat melihat pemerintah perlu melakukan survailans agar bisa diketahui penyakit masyarakat.

"Jangan ditunggu sampai sakit karena akan memerlukan biaya yang besar kalau sudah dirawat," kata Prof Ascobat mengingatkan.

Sedangkan penyakit menular, terutama malaria dan HIV/AIDS, diperlukan langkah-langkah konkret yang akurat agar penularan penyakit ini bisa dikendalikan.

Maka, seiring dengan penuaan adalah langkah yang arif dan bijaksana kalau pemerintah menjalakan saran Prof Ascobat. Persoalan yang dihadapi adalah Otonomi Daerah (Otda) yang tidak memungkinkan lagi ada program pusat ke daerah.

Di masa pemerintahan Presiden SBY selama dua periode yang terjadi adalah membangu rumah sakit. SBY membanggakan di pemerintahannya rumah sakit bertambah 600 persen.

Tapi, sebaliknya warga yang sakit pun bertambah banyak karena puskesmas pun sudah menjalankan pengobatan (kuratif). dan mengabaikan pencegahan (promosi).

[Baca juga: Pemerintahan SBY: RS Meningkat 600 Persen, Jumlah Penduduk yang Sakit Juga Meroket dan Perbedaan Visi Kesehatan Antara Jokowi dan SBY]

Disebutkan oleh ahli kependudukan bahwa kebijakan yang mempromosikan kesehatan orangtua memainkan peran penting dalam memitigasi dampak penuaan populasi.

Pendapat ahli kependudukan ini menunjukkan semakin sehat seseorang, semakin mampu mereka bekerja lebih lama, yang bisa membawa pada penurunan biaya perawatan kesehatan (Sumber: BBC dan sumber-sumber lain). *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun