*Tidak ada program penanggulangan yang riil ....
Dalam Laporan Perkembangan HIV/AIDS dan lnfeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kemenkes RI, Â tanggal 28 Februari 2019 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) adalah 20.955 yang terdiri atas 16.890 HIV dan 4.065 AIDS dengan 276 kematian.
Dengan jumlah tsb. posisi Sumut secara nasional dari 34 provinsi ada di peringkat ke-7. Sedangkan berdasarkan jumlah kasus AIDS posisi Sumut juga ada peringkat ke-7 secara nasional yaitu 4.065.
Sedangkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd. 31 Desember 2018 adalah 441.347 yang terdiri atas 327.282 HIV dan 114.065 AIDS dengan 16.473 kematian.
Yang perlu diingat adalah jumlah kasus yang dilaporkan di Sumut (20.955) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (20.955) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Itu artinya di masyarakat Sumut ada kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi sehingga penyebaran HIV/AIDS terus terjadi melalui warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5 -- 15 tahun setelah tertular HIV/AIDS).
Salah satu faktor risiko penularan HIV/AIDS adalah hubungan seksualyang tidak aman, yaitu: (a). Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan (b). Hubungan seksual yang dilakukan dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, yakni pekerja seks komersial (PSK).
Pemprov Sumut dan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sumut boleh-boleh saja menepuk dada sambil mengatakan: Di daerah kami tidak ada pelacuran!
Secara de jure hal itu benar karena sejak reformasi ada gerakan yang masif menutup semua tempat pelacuran yaitu lokalisasi pelacuran yang di era Orba dijadikan sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK.
Tapi, secara de facto tidak bisa dipungkiri di wilayah Sumut tetap terjadi transaksi seks berisiko dalam bentuk pelacuran tertutup dengan berbagai modus, termasuk memakai media sosial, yang melibatkan PSK tidak langsung.