Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

MK Amputasi Wewenang Kemendagri Cabut Regulasi Lokal

4 April 2019   14:06 Diperbarui: 4 April 2019   14:36 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: dailytimes.com.pk)

"Pemerintah diminta menghapus segala macam regulasi lokal yang diskriminatif. Aturan yang diskriminatif melegalisasi intoleransi." Ini sub-judul berita "Rombak Aturan-aturan Diskriminatif" di Harian "KOMPAS" edisi 4 April 2019.

Bisa jadi sub-judul di atas refleksi dari pernyataan dalam tubuh berita: Karena itu, Setara Institute mendesak pemerintah agar menghentikan segala macam sikap eksklusi terhadap minoritas dengan melakukan tindakan yang progresif menghapus segala macam regulasi lokal yang diskriminatif.

Tidak jelas apakah Direktur Riset Setara Institute, Halili, narasumber berita ini tidak mengetahui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membatalkan peraturan daerah (Perda). (jpnn.com, 5/4-2017). Itu artinya wewenang pemerintah, dalam hal ini presiden melalui Kemendagri, sudah diamputasi oleh MK untuk mencampuri peraturan daerah (Perda) di pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota.

Belakangan ini muncul kasus penolakan warga terhadap pendatang karena beda agama di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Penolakan itu berkekuatan hukum yaitu keputusan musyawarah desa yang dituangkan dalam SK No. 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet.

Adalah Slamet Jumiarto, 42 tahun, dan keluarganya ditolak oleh RT dan warga karena Slamet dan Slamet sekeluarga beragama Katolik yang berbeda dengan agama warga di dusun itu.

Pada awalnya Presiden Jokowi ingin agar peraturan di daerah yang menghalangi percepatan pembangunan dan investasi dicabut. Daerah melawan bahkan penolakan dibalut dengan unsur agama sehingga yang muncul adalah pemerintah akan mencabut perda-perda syariah. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) kemudian menggugat Mendagri ke MK dan MK mengabulkan gugatan Apkasi. Dalam mengambil keputusan tsb. MK  tidak bulat karena ada empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat beda atau dissenting opinion (jpnn.com, 5/4-2017).

Yang lebih konyol adalah Elaine Pearson, Direktur HRW di Australia, yang mengatakan: "Presiden Jokowi memilih tidak menggunakan kemampuan politiknya untuk mencabut peraturan diskriminatif atau melindungi minoritas dari pelecehan." (abc.net.au, 19/1-2019). Tidak jelas apakah Pearson menerima informasi dari 'kaki tangannya' di Indonesia atau tanggapannya sendiri tanpa memahami sistem hukum di Indonesia pasca reformasi dengan UU Otonomi Daerah.

[Baca juga: Direktur HRW Lancarkan Provokasi Terhadap (Kebijakan) Presiden Jokowi]

Yang lebih konyol lagi adalah pernyataan Pearson ini: Peraturan Daerah Syariah yang diterapkan Provinsi Aceh juga kembali jadi sorotan, setelah di bulan September 2018, Pemerintah Kabupaten Bireuen melarang pasangan yang bukan suami istri duduk semeja di restoran. Rupanya, 'pembisik' Pearson tidak mengetahui kalau Aceh ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus dengan syariat Islam melalui UU yang dikeluarkan di masa pemeritnahan Presiden Megawati Soekarnoputri  

Maka, amatlah menggelikan kalau kemudian Direktur Riset Setara Institute, Halili, juga tidak memahami kondisi Indonesia terkait dengan Perda.

Kementerian Dalam Negeri sudah mendata perda-perda yang 'bermasalah', seperti mendorong eksklusifisme, menyuburkan intoleransi, merendakah martabat perempuan, dll. Ada perda yang sama sekali tidak objektif sehingga semua perempuan yang ada di jalan raya di atas pukul 22.00 dianggap pelacur. Ini 'kan konyol, tapi itulah yang terjadi. Seorang perempuan pekerja di sebuah pabrik di Kota Tangerang, Banten, ditangkap Satpol PP berdasarkan Perda No 8/2005 karena perempuan itu berdiri di halte dan di tasnya ada lipstick. Ketua RT di tempat tinggalnya mengatakan perempuan itu adalah seorang istri. Tapi, Satpol PP tidak menerimanya dan tetap diangkut ke kantor. Ini benar-benar edan. Celakanya, perda ini diadopsi di banyak daerah.

Apakah Kota Tengerang dan daerah-daerah yang mengadopsi perda itu benar-benar besar transaksi seks sebagai bentuk pelacuran? Tentu saja tidak. Bahkan, laporan menunjuikan kasus HIV/AIDS di Provinsi Banten terbanyak kedua terdeteksi di Kota Tangerang. Dari 6.108 kasus HIV/AIDS yang terdeksi sampai Oktober 2018 yang terdeteksi di Kota Tangerang sebanyak 1.206 atau 19,74 persen (jakarta.tribunnews.com, 8/12-2018).

Tentu saja perda-perda itu menghambat laju pembangunan dan investasi serta mendorong intoleransi, stigmatisasi dan diskriminasi. Tapi, karena MK sudah mengebiri kekuatan Kemendagri untuk mencabut perda, maka perda-perda yang bermasalah itu tidak bisa dicabut atau dibatalkan. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun