Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kasus HIV/AIDS di Indonesia Mendekati Setengah Juta

2 April 2019   14:54 Diperbarui: 2 April 2019   15:24 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Tanpa program penanggulangan yang konkret penyebaran HIV/AIDS ibarat 'bom waktu' ....

Dalam Laporan Perkembangan HIV/AIDS dan lnfeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kemenkes RI,  tanggal 28 Februari 2019 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd. 31 Desember 2018 adalah 441.347 yang terdiri atas 327.282 HIV dan 114.065 AIDS dengan 16.473 kematian.

Yang perlu diingat adalah jumlah kasus yang dilaporkan (441.347) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (441.347) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Itu artinya kasus yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Tingkat penyebaran kita besar karena ada laki-laki pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi mempunyai istri lebih dari satu serta pasangan seks lain dan ada pula yang seks dengan waria.

Ilustrasi (Sumber: avert.org)
Ilustrasi (Sumber: avert.org)

Beberapa daerah sesumbar tahun 2030 bebas AIDS. Ini mimpi dan utopia karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat. Estimasi yang dikeluarkan oleh UNAIDS (Badan PBB untuk HIV/AIDS) pada tahun 2016 ada 620.000 kasus HIV/AIDS di Indonesia dengan estimasi terendah 530.000 dan estimasi tertinggi 730.000. Infeksi HIV baru diperkirakan 48.000 per tahun dengan estimasi terendah 43.000 dan tertinggi 52.000 (unaids.org). Sedangkan yang terdeteksi sampai 31 Desember 2018 baru 441.347 sehingga ada kasus yang tidak terdeteksi antara 88.653 -- 266.563.

[Baca juga: Khayalan, Jakarta Zero AIDS Tahun 2030 dan Kota Jayapura Bebas HIV/AIDS 2030, Mengumbar Mimpi dan Utopia]

Selain itu tidak ada pula program yang riil untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Menteri Kesehatan RI, dr Nafsiah Mboi, mengatakan sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4-2013). Celakanya, 4,9 juta laki-laki pelanggan PSK itu mempunyai istri.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya disebarkan ke masyarakat. Bagi yang beristri menularkan ke istri atau pasangan seks lain.

Jika istri tertular HIV ada pula risiko penularan HIV ke bayi-yang-dikandung si istri, terutama saat persalinan dan menyususi dengan air susu ibu (ASI). Celakanya, tidak ada mekanisme yang konkret tanpa melawan hukum dan melanggar HAM untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Maka, risiko bayi lahir dengan HIV/AIDS juga besar.

Yang jadi persoalan besar adalah anggapan bawah tidak ada (lagi) pelacuran yang melibatkan PSK langsung karena sejak reformasi semua lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup. Secara de jure benar karena didukung oleh peraturan daerah (Perda), tapi secara de facto tidak bisa dipungkiri di mana saja di Nusantara terjadi transaksi seks yang mengarah ke praktek pelacuran (prostitusi) dengan berbagai macam modus, bahkan memakai media sosial yang melibatkan artis dan model.

[Baca juga: Prostitusi "Artis" (Bisa) Jadi Mata Rantai Penyebaran HIV/AIDS]

Dengan kondisi pemerintahan yang sudah seperti negara federal, adalah sulit bagi pemerintah, dalam hal ini Kemenkes RI, untuk mengendalikan insiden infeksi HIV baru dan penyebaran HIV/AIDS karena tiap daerah mempunyai peraturan sendiri. Kondisinya kian runyam karena banyak peraturan itu dibuat dengan landasan agama sehingga tidak bisa diintervensi dengan program riil terkait dengan pencegahan HIV/AIDS, khususnya penularan melalui hubungan seksual.

Adalah ironis, banyak kalangan yang menolak kondom tapi tetap menanti vaksin. Ini menjungkirbalikkan akal sehat karena vaksin jauh lebih 'berbahaya' daripada kondom karena sekali vaksinasi seumur hidup 'bebas AIDS' sehingga tidak takut lagi melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. Sedangkan kondom harus dibeli dan dipasang setiap hendak melakukan hubungan seksual yang berisiko.

[Baca juga: Ironis: Kondom Ditolak, Vaksin AIDS Ditunggu-tunggu]

Di Papua pemerintah setempat 'mengganti' kondom dengan sirkumsisi (sunat). Padahal, sunat hanya menurukan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual, sedangkan kondom mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Akibatnya, laki-laki yang sudah disunat merasa sudah memakai kondom, padahal sunat hanya sebatas menurunkan risiko bukan mencegah.

[Baca juga: AIDS di Papua: Sunat (Bisa) Menjerumuskan karena Dianggap Kondom (Alam)]

Dari tabel jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di bawah ini ada 10 provinsi dengan kasus HIV/AIDS terbanyak sebagai 'peringatan' agar menjalankan program penanggulangan yang riil tidak hanya sebatas slogan dan orasi moral yang berapi-api. Daerah-daerah ini menerbitkan Perda AIDS, tapi semua tidak menyentuh akar persoalan.

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri

[Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand]

Yang bisa jadi patokan adalah kasus AIDS karena kasus HIV tidak semua akurat. Rekomendasi WHO menyebutkan setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Nah, laporan kasus HIV ada dari survailans tes HIV (tes HIV pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu) untuk mengetahui prevalensi HIV/AIDS. Hasil tes ini tidak dikonfirmasi. Ada lagi laporan kasus HIV dari PMI yang merupkan hasil skirining HIV pada darah donor. Ini juga tidak dikonfirmasi.

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri

Pada tabel di atas peringkat provinsi dengan jumlah kasus AIDS menggambarkan epidemi HIV/AIDS di provinsi tsb.

Tanpa langkah-langkah yang konkret, insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang selanjutnya terjadi penyebaran HIV di masyarakat tanpa disadari karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan keseharan warga yang mengidap HIV/AIDS.

Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun