Kaum Gay Penyumbang HIV AIDS Tertinggi di Pontianak, Lusi: Tidak Perlu Malu Tes Gratis di Puskesmas. Ini judul berita di pontianak.tribunnews.com, 13/3-2019.
Pernyataan ini bias dan sensasional, karena:
Pertama, HIV/AIDS pada kalangan gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak punya istri sehingga tidak ada penyebaran ke perempuan dan seterusnya ke bayi,
Kedua, tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'penyumbang HIV/AIDS tertinggi'. Ini menggiring masyarakat untuk memusuhi laki-laki gay karena dikesankan gay-lah yang menyebarkan HIV/AIDS di Kota Pontianak,
Ketiga, dalam berita disebut ada 1.000 gay di Kota Pontianak sedangakan di Kalbar 6.000. Apakah angka ini dari sumber primer yaitu laki-laki gay yang menyatakan diri sebagai gay atau dari sumber sekunder (teman, dll.) atai sumber yang lain. Soalnya, apakah seterbuka itu gay di Kota Pontianak dan Kalbar?,
Dalam berita disebutkan: "Gay yang terdata by name by address saat ini di Kota Pontianak ada 1000 orang dan untuk di Kalbar berdasarkan angka dari dinas kesehatan provinsi lebih ari 6000 orang." Data berupa nama dan alamat adalah fakta privat, apakah gay-gay tsb. memang memberikan nama asli dan alamat?
Keempat, penyebutan gay tidak akurat karena dalam berita hanya ada data terkait jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada tahun 2018 dengan faktor risiko  'Lelaki Seks Dengan Lelaki (LSL)' sebanyak 33. Apakah semua LSL ini gay?
Kalau saja narasumber dan wartawan yang menulis berita ini lebih arif dan membawa kasus HIV/AIDS ke realitas social yang jadi persoalan besar bukan gay karena yang disebut sebagai 'penyumbang HIV/AIDS tertinggi di Pontianak' adalah jumlah angka kasus yang terdeteksi bukan sebagai penyebar HIV/AIDS karena gay tidak mempunyai istri.
Kasus HIV/AIDS pada gay hanya ada di komunitas mereka. Yang jadi persoalan besar adalah laki-laki heteroseksual yang justru jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.
Ibu Rumah Tangga
Dalam berita ada data kasus pada ibu rumah tangga (IRT) yaitu 19. Narasumber dan wartawan justru mengabaikan data ini. Data ini menunjukkan ada 19 laki-laki heteroseksual yaitu suami IRT yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. 19 laki-laki ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.
Jika 19 IRT itu hamil, maka ada pula risiko penularan HIV/AIDS kepada tiga bayi yang kelak mereka lahirkan jika tidak ditangani secara medis.
Dalam berita ada data 4 kasus HIV/AIDS pada anak berumur 0-14 tahun.Sayang, berita ini tidak menyasar perilaku laki-laki heteroseksual, dalam hal ini suami, dan tidak pula ada keterangan apakah suami 19 IRT itu menjalani tes HIV?
Kalau 19 suami itu tidak menjalani tes HIV, maka mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Soalnya, kalau mereka tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka salah satu syarat adalah mereka membuat pernyataan bahwa mereka akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya jika hasil tes HIV positif.
Ada lagi pernyataan: "Kita mengajak, seluruh pasangan mau menikah harus tes HIV AIDS. ...."
Tes HIV bagi calon pasangan yang akan menikah hanya kerja sia-sia karena:
(1) Hasil tes HIV bisa negatif palsu (HIV ada di darah tapi tes HIV nonreaktif) atau positif palsu (hasil tes reaktif tapi HIV tidak ada di darah),
(2) Mengapa hanya calon pengantin laki-laki yang tes HIV karena calon pengantin perempuan biar pun perawan tetap ada risiko tertular HIV, al. melalui jarum suntik terutama pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya),
(3) Biar pun hasil tes HIV negatif tidak jaminan suami akan bebas HIV selamanya, dan
(4) Surat bebas HIV akan dijadikan suami sebagai 'senjata' jika kelak istrinya terdeteksi mengidap HIV/AIDS, seperti tes HIV ketika hamil.
[Baca juga: Tes HIV sebelum Menikah Bisa Jadi Bumerang]
Yang jadi masalah besar adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki heteroseksual melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Insiden Infkesi HIV Baru
Mungkin Pemkot Pontianak dan Pemprov Kalbar akan menepuk dada dengan mengatakan: Di daerah kami tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada gerakan masif yang menutup lokalisasi pelacuran. Tapi, secara de facto:
(a). Apakah Pemkot Pontianak dan Pemprov Kalbar bisa menjamin di Kota Pontianak dan di Kalbar tidak ada praktek pelacuran melalui transaksi seks dengan beragama modus, bahkan dengan media sosial? Â
Dalam berita disebutkan ada 2 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada tahun 2018. Itu artinya 2 PSK ini minimal sudah terular HIV 3 bulan, sehingga sudah ada 360 (2 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) laki-laki dewasa yang berisiko terular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang seks dengan PSK tanpa kondom.
Dalam kehidupan sehari-hari 360 laki-laki itu bisa sebagai suami sehingga ada 360 perempuan yang berisiko tertular HIV. Kalau 360 istri itu tertular HIV, maka ada pula 360 bayi yang berisiko lahir dengan HIV/AIDS.
(b). Apakah Pemkot Pontianak dan Pemprov Kalbar bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Kota Pontianak dan di Kalbar yang melakukan perilaku berisko tinggi tertular HIV, al. seks dengan PSK, di luar Kalbar?
Kalau jawabannya YA, itu artinya penularan HIV/AIDS di Kalbar tidak terkait dengan PSK. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yaitu insiden infeksi HIV baru yang akan terus terjadi pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK justru ada di awal malapetaka. Soanya, laki-laki heteroseksual akan menularkan HIV/AIDS ke istri dan berakhir pada bayi-bayi yang akan mereka lahirkan. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H