Jika 19 IRT itu hamil, maka ada pula risiko penularan HIV/AIDS kepada tiga bayi yang kelak mereka lahirkan jika tidak ditangani secara medis.
Dalam berita ada data 4 kasus HIV/AIDS pada anak berumur 0-14 tahun.Sayang, berita ini tidak menyasar perilaku laki-laki heteroseksual, dalam hal ini suami, dan tidak pula ada keterangan apakah suami 19 IRT itu menjalani tes HIV?
Kalau 19 suami itu tidak menjalani tes HIV, maka mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Soalnya, kalau mereka tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka salah satu syarat adalah mereka membuat pernyataan bahwa mereka akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya jika hasil tes HIV positif.
Ada lagi pernyataan: "Kita mengajak, seluruh pasangan mau menikah harus tes HIV AIDS. ...."
Tes HIV bagi calon pasangan yang akan menikah hanya kerja sia-sia karena:
(1) Hasil tes HIV bisa negatif palsu (HIV ada di darah tapi tes HIV nonreaktif) atau positif palsu (hasil tes reaktif tapi HIV tidak ada di darah),
(2) Mengapa hanya calon pengantin laki-laki yang tes HIV karena calon pengantin perempuan biar pun perawan tetap ada risiko tertular HIV, al. melalui jarum suntik terutama pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya),
(3) Biar pun hasil tes HIV negatif tidak jaminan suami akan bebas HIV selamanya, dan
(4) Surat bebas HIV akan dijadikan suami sebagai 'senjata' jika kelak istrinya terdeteksi mengidap HIV/AIDS, seperti tes HIV ketika hamil.
[Baca juga: Tes HIV sebelum Menikah Bisa Jadi Bumerang]
Yang jadi masalah besar adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki heteroseksual melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).