Disclaimer: Artikel ini tidak dalam kapasitas membela pemerintah, dalam hal ini Kemenkes RI, tapi berdasarkan pengalaman meliput dan menulis berita HIV/AIDS sejak awal epidemi sampai sekarang dan seterusnya ....
Ketika saya diminta jadi pembicara di sebuah acara terkait HIV/AIDS di salah satu provinsi peringatan pertama yang saya terima adalah: "Bang, tolong jangan menyebut kondom, ya."
Nah, bagaimana membuat 'iklan keren' wong nyebut kondom saja tidak boleh. Padahal, secara medis kondom adalah alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, antara seorang yang mengidap HIV/AIDS ke orang lain.
Apakah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahu persis sejak HIV/AIDS belum diakui oleh pemerintah ada di Indonesia, sebelum tahn 1987, mulai dari menteri kesehatan, wartawan, pakar, tokoh sampai (ada) dokter pun mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan agama?
Pakar-pakar kesehatan terkait dengan imunitas dan darah di Indonesia sudah memastikan ada warga yang mengidap HIV/AIDS sebelum tahun 1987, tapi pemerintah selalu menampik. Bahkan, Presiden Soeharto waktu itu ikut angkat bicara: Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Kesehatan agar memberikan penjelasan yang benar kepda masyarakat luas, bahwa di Indonesia tidak ada penyakit AIDS (Berita Yudha, 14/4-1986).
Dengan mengaitkan norma, moral dan agama ke HIV/AIDS itu artinya ada kaitan antara norma, moral dan agama dengan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS (Odha). Di beberapa peraturan daerah (Perda) AIDS, seperti Perda AIDS Provinsi Riau, malah disebutkan bahwa untuk mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan cara "meningkatkan iman dan taqwa".
[Baca juga: Menyibak Peran Perda AIDS Riau dalam Penanggulangan AIDS Riau]
Itu artinya orang-orang yang kena AIDS iman dan taqwanya rendah. Padahal, apa ukuran dan siapa yang berhak mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS?
Memang, seperti dikatakan oleh Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti, HIV/AIDS hanya terkait dengan cairan darah, air mani, vagina dan air susu ibu (ASI) yang sama sekali tidak terjadi di lingkungan sekolah (voaindonesia, 17/2-2019).
Tapi, belakangan ini instansi dan institusi serta aktivis AIDS menyebarkan semboyan "Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya". Wong, HIV/AIDS ada di dalam badan pengidapnya, lalu bagaimana caranya? Ini benar-benar merugikan penanggulangan HIV/AIDS karena semboyan yang ngaco bin ngawur.
Iklan layanan masyarakat sekeren apa pun tidak ada manfaatnya karena di awal epidemi HIV/AIDS pemerintah sudah mematri pendapat di benak banyak orang bahwa: HIV/AIDS penyakit orang luar, HIV/AIDS penyakit bule, HIV/AIDS penyakit gay, HIV/AIDS penyakit PSK, dst.