Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pemkot Semarang Tanggulangi HIV/AIDS di Hilir

24 Januari 2019   07:26 Diperbarui: 24 Januari 2019   15:01 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: royalexaminer.com)

Shinta, pemegang program VCT di Puskesmas Poncol Kota Semarang menuturkan, masyarakat dapat mengecek apakah yang bersangkutan menyandang HIV AIDS atau tidak, melalui tes tersebut. Ini pernyataan dalam berita "Tak Perlu Malu, Tes HIV AIDS di Puskesmas Ini Dijamin Kerahasiaannya" (jateng.tribunnews.com, 20/1-2019).

Pernyataan di atas benar-benar di luar akal sehat, karena:

Pertama, tidak ada alasan secara medis bahwa masyarakat harus melakukan cek apakah menyandang HIV/AIDS atau tidak,

Kedua, tidak semua orang harus menjalani tes HIV karena tidak semua orang (masyarakat) melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Maka, tes HIV bukan soal malu atau tidak tapi karena informasi yang disebarkan ke masyarakat, al. melalui media massa dan media online, sejak awal epidemi sampai sekarang selalu dibumbui dengan moral sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan hubungan seksual di luar nikah, seperti seks pranikah, seks bukan dengan istri, atau seks dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.

[Baca juga: Penularan HIV/AIDS Bukan karena Seks di Luar Nikah]

Masalah kian rumit karena sejak reformasi ada gerakan masif menutup tempat pelacuran yang sebelumnya dijadikan sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK. Akibatnya, transaksi seks yang berujung sebagai praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

PSK dikenal dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, 'artis', cewek prostitusi online, dll.

Banyak laki-laki yang merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena seks yang dia lakukan bukan dengan PSK langsung, tapi cewek melalui media sosial, dll. Padahal, cewek seperti ini juga termasuk PSK yaitu PSK tidak langsung.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Dalam berita disebutkan: Voluntary Counseling and Testing (VCT) bahkan dilakukan secara gratis di beberapa puskesmas di Kota Semarang agar angka penderita HIV/AIDS bisa menurun.

Pernyataan di atas jelas salah karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka kasus yang dilaporkan tidak akan pernah turun atau berkurang biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal dunia. Yang terjadi justru angka penderita kian banyak karena ditambah dengan kasus yang baru terdeteksi.

Disebutkan oleh Kabid Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P), Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jateng, Tatik Murhayati, masih banyak pengidap HIV/AIDS di Jateng, termasuk Kota Semarang, yang tidak terdeteksi, karena sejumlah faktor. Sebagai contoh dimana penderita cenderung tak ingin mendatakan dirinya sendiri. "Ada stigma negatif masyarakat yang membuat ODHA tak mau mendata diri," ujarnya.

Disebutkan dalam berita jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Semarang berkisar pada angka 5.000-an. Perkiraan (estimasi) ada pada angka 13.000-an.

Pernyataan "penderita cenderung tak ingin mendatakan dirinya sendiri" tidak akurat karena semua orang yang menjalani tes HIV sudah melalui pencatatan administrasi yaitu identitas dan didaftar secara lengkap untuk mendapatkan obat antiretroviral (ARV).

Terkait dengan warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi terjadi karena tidak ada program yang sistematis untuk menjaring warga yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat. Fasilitas kesehatan ada dalam posisi pasif yaitu menunggu pasien yang terindikasi terkait dengan HIV/AIDS yang selanjutnya dirujuk untuk tes HIV.

Selain itu langkah Pemkot Semarang yang mengoptimalkan tes HIV adalah penanggulangan di hilir. Warga dibiarkan tertular HIV dulu, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK yang seterusnya ditularkan ke pasangan, seperti istri. Yang berakhir pada bayi yang dilahirkan dengan HIV/AIDS.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa dengan melakukan intervensi agar mereka memakai kondom setiap kali seks dengan PSK. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun