Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS, Tertular atau Tidak Bukan Melihat Gejala tapi Perilaku Seksual

23 Januari 2019   08:35 Diperbarui: 23 Januari 2019   08:56 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini, terutama sejak Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) tanggal 1 Desember 2018 media massa dan media online diramaikan dengan berita tentang gejala-gejala HIV/AIDS. Pengaitan gejala-gejala tsb. secara langsung dengan infeksi HIV/AIDS adalah ara yang keliru dan ngawur bin ngaco karena tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri pada fisik dan keluhan kesehatan yang otomatis terkait dengan infeksi HIV/AIDS.

Lihatlah judul berita di liputan6.com ini: Gejala HIV AIDS yang Perlu Kamu Ketahui, Agar Tidak Keliru (19/1-2019). Kalau hanya berdasarkan gejala jelas keliru karena gejala-gejala tsb. bukan semata-mata terkait dengan HIV/AIDS karena penyakit lain pun mempunyai gejala tsb

Masa AIDS

Yang ini juga: HIV AIDS, Jangan Abaikan 16 Gejala yang Memungkinkan Kamu Terkena VIRUS HIV AIDS (kupang.tribunnews.com, 1/12-2018). Judul berita ini kelihat ditujukan untuk remaja.

[Baca juga: Informasi HIV/AIDS untuk Remaja (yang) Dibalut Moral]

Penyebutan gejala-gejala yang dikaitkan dengan HIV/AIDS itu bisa jadi bumerang ketika orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak mengalami gejala-gejala yang disebutkan. Secara medis gejala tsb. biasanya muncul pada pengidap HIV/AIDS, kalau tidak ditangani secara medis, pada masa AIDS (secara statistik pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Itu artinya bisa belasan tahun tidak ada gejala.

Celakanya, orang-orang yang tertular HIV tidak menunjukkan gejala-gejala yang diobral oleh media massa dan media online bisa menularkan HIV ke orang lain tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Maka, jangan heran kalau banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena suami mereka tidak menyadari dirinya sebagai pengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang diumbar media.

Ada lagi judul berita yang lebih ngawur: Jika Alami Gejala Ini, Bisa Jadi Kamu Kena HIV (health.detik.com, 26/6-2018).

Astaga. Ini benar-benar di luar akal sehat. Judul berita ini membuat panik orang-orang yang mengalami gejala yang disebutkan. Padahal, mereka sekali tidak pernah melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS. Sebaliknya orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS menepuk dada karena gejala-gejala itu tidak mereka alami. Ironis 'kan.

Judul-judul berita ini juga sama sekali tidak memberikan pencerahan: Kenali Gejala Terinveksi HIV, Ini Ciri-cirinya (manado.tribunnews.com, 30/6-2018). Tidak ada gejala yang khas HIV/AIDS. Ini fakta medis.

Yang lain: Kenali Gejala HIV dan Tahapannya Menjadi AIDS, Apakah Sudah Ada Obatnya? (bangka.tribunnews.com, 1/12-2018). Tidak ada gejala yang khas AIDS.

Dari judul-judul berita tsb. saja sudah terjadi misleading (menyesatkan). Tidak mungkin masyarakat menangkap fakta dari berita-berita yang dikemas dengan balutan informasi yang tidak akurat. Berita kian ngawur jika dibalut dengan moral dan ditulis dengan memakai ukuran 'moralitas' wartawan. Yang muncul adalah mitos (anggapan yang salah).

Buku
Buku
Kuncinya adalah: Apakah saya pernah melakukan kegiatan berisiko (tertular HIV-pen.)? Kalau jawabannya "YA" maka sebaiknya Anda memikirkan untuk melakukan tes HIV secara sukarela (Kapan Anda Harus Tes HIV?, Syaiful W Harahap, InfoKespro, Jakarta 2002, hlm 97).

PSK Tidak Langsung

Padahal, tanpa memperhatikan gejala seseorang bisa menimbang-nimbang apakah perilaku yang pernah dilakukannya berisiko tertular HIV biar pun sama sekali sampai belasan tahun tidak ada gejala. Ini kunci untuk mengukur diri apakah berisiko tertular HIV/AIDS, dalam hal ini berdasarkan perilaku seksual, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (zina, selingkuh, dll.) di wilayah tempat tinggal, di luar wilayah tempat tinggal, dan di luar negeri.

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (zina, selingkuh, dll.) di wilayah tempat tinggal, di luar wilayah tempat tinggal, dan di luar negeri.

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung di wilayah tempat tinggal, di luar wilayah tempat tinggal, dan di luar negeri.

Yang dimaksud dengan:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

(4). Laki-laki heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi waria tidak memakai kondom. Studi di Surabaya (1990-an) menunjukkan laki-laki heteroseksual jadi 'perempuan' yang dianal (disebut ditempong) oleh waria yang berperan sebagai 'laki-laki' (disebut menempong). Kondisi ini membuat laki-laki heteroseksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Laki-laki ini jadi jembatan penyebaran HIV dari komunitas waria ke masyarakat.  

(5). Laki-laki biseksual (heteroseksual dan homoseksual) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, denan PSK langsung, dengan PSK tidak langsung, dengan gay dan dengan waria. Laki-laki biseksual jadi jembatan penyebaran HIV dari komunitas PSK, gay dan waria ke masyarakat di wilayah tempat tinggal, di luar wilayah tempat tinggal, dan di luar negeri.

Sedangkan faktor risiko lain adalah: (a). Pernah atau sering memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik,  (b). Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskirining HIV, dan (c). Pernah atau sering menyusu pada perempuan pengidap HIV/AIDS.

Maka, yang jadi persoalan besar bukan mengalami gejala-gejala yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS, tapi apakah pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS?

Biar pun tidak ada gejala tapi pernah atau sering melakukan perilaku berisiko itu artinya ada risiko tertular HIV. Sebaliknya, biar pun ada gejala yang disebut terkait HIV/AIDS tapi tidak pernah melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko, maka gejala tsb. tidak ada kaitannya dengan infeksi HIV/AIDS. Ini fakta medis. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun