Disclaimer: Artikel ini tidak dalam keberpihakan kepada Jokowi, tapi murni dari perspektif jurnalistik.
"Serangan" terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus bergulir. Mulai dari caci-maki, ejekan (bahkan dilakukan oleh petinggi ormas keagamaan), ujaran kebencian sampai fitnah.
Bahkan, ada yang mengatakan rela mati jika yang dia sebut tidak benar. Seperti yang dilakukan oleh pemilik akun Twitter @IreneViena: mengaku rela mati bila benar Jokowi merupakan lulusan SMA Negeri 6 Surakarta antara tahun 1977 sampai 1982. Karena menurut dia, SMAN 6 Surakarta baru berdiri pada tahun 1986 (kompas.com, 16/ 1-2019).
Dari perspektif jurnalistik setiap kabar (burung), informasi, data dan fakta harus dikonfirmasi dengan sumber-sumber yang kompeten (yang terkait langsung) yang didukung dengan wawancara, pengamatan dan pustaka.
Nah, pemilik akun Twitter @IreneViena tidak melakukan konfirmasi dengan SMAN6, sedangkan wartawan Kontributor Kompas.com di Solo taat menjalankan asas jurnalistik.
Dengan menjumpai pihak yang berkompeten yaiu kepala sekolah SMAN 6 Surakarta. Fakta yang diperoleh wartawan kompas.com menunjukkan pernyataan pemilik akun Twitter @IreneViena berbeda dengan data yang berkekuatan hukum (lihat Tabel).
SMPP pertama kali menerima siswa baru pada tahun 1976, salah satu murid baru yang diterima waktu itu adalah Joko Widodo. Joko Widodo, yang lebih dikenal sebagai Jokowi, kemudian lulus pada tahun 1980.
Seperti dikatakan oleh Kepala Sekolah SMAN 6 Surakarta, Agung Wijayanto, karena Jokowi lulus tahun 1980 maka di ijazah dan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Jokowi bukan SMAN 6, tapi Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan. Di STTB disebutkan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) dengan sebutan Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan.
Maka, amatlah wajar kalau kemudian banyak orang yang jadi penghuni sel di lembaga pemasyarakatan karena gegabah menyebarkan kabar yang tidak dikonfirmasi dengan sumber yang kompeten.
Reaksi netizen ketika ada berita tentang cendol. Media sosial ramai mengatakan Singapura klaim cendol minuman khas negeri itu. Padahal, berita asli sama sekali tidak menyebutkan ada klaim Singapura. Ini contoh betapa netizen kadang 'pea'.
[Baca juga: Medsos Vs Cendol, Hanya Sekelas Inikah?]
Lagi-lagi pernyataan untuk orang-orang yang mengatakan UU ITE menghambat kreativitas: apakah cara-cara yang dilakukan sebagian netizen tanpa konfirmasi sebagai kreatifitas?
[Baca juga: Media Sosial sebagai Penyaluran Ekspresi Dibatasi Koridor Hukum]
Karena menyebarkan kabar sekarang begitu mudah, dengan satu jari pun melalui ponsel pintar terjadilah euforia tanpa memikirkan jeratan hukum. Wartawan sendiri terbelenggu dengan 'satu kaki di penjara' jika menulis berita tanpa berpijak pada asas jurnalistik dan kode etik jurnalistik, maka kaki yang satu lagi ikut ke penjara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H