Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Infantofilia Adalah Kekerasan Seksual Terhadap Bayi dan Anak-anak

13 Januari 2019   16:21 Diperbarui: 22 Maret 2024   08:32 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Balita 4 Tahun Alami Kekerasan Seksual di Toilet Umum Queensland (Australia-pen.). Ini judul berita di "ABC News/Indonesia" (11/1-2019). Ini menunjukkan perilaku parafilia (menyalurkan dorongan seksual dengan cara lain), dalam kasus ini disebut infantofilia (laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada bayi dan anak-anak rentang umur 0-7 tahun.

[Baca juga: Infantophilia, Hasrat Seks Laki-laki Dewasa ke Bayi Perempuan]

Di Indonesia kasus infantofilia  dari tahun 2013 yang ditangani polisi 40-an dengan korban termuda umur 9 bulan (Jakarta Timur, 2013) dan tertua umur 5 tahun (di beberapa daerah).

[Baca juga: Infantophilia Adalah Laki-laki yang Memerkosa Bayi AA, 9 Bulan, di Jakarta Timur].

Kepolisian Australia meminta bantuan masyarakat untuk menangkap pelaku karena, seperti dikatakan oleh inspektur polisi di Distrik Sunshine Coast, Darryl Johnson,  pelanggaran itu serius.

Tentu saja serius karena menyangkut nyawa dan kehidupan bayi dan anak-anak karena pada beberapa kasus korban mati karena rudapaksa yang dilakukan pelaku.

Polisi mengatakan kasus seperti itu belum pernah mereka hadapi. Itulah sebabnya polisi mengatakan bahwa kasus tsb. merupakan masalah yang langsung terkait dengan polisi, masyarakat, dan keluarga sebagai ibu dan ayah korban.

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Yang jadi masalah besar adalah pelaku infantofilia tidak bisa dikenali dari fisik dan perilakunya karena tidak ada tanda-tanda yang khas. Semua laki-laki dewasa senang bermain dengan bayi dan anak-anak.

Mungkin yang perlu diperhatikan adalah gerak-gerik seseorang ketika bermain dengan bayi dan anak-anak, terutama anggota keluarga dekat karena biasanya tidak ada kecurigaan terhadap anggota keluarga. Kedekatan yang berlebihan memang bisa jadi gejala, tapi akan sulit juga memutuskan apa dan bagaimana kedekatan seorang paman, misalnya, terhadap keponakannya.

Kasus yang menimpa bayi di Jakarta Timur dilakukan oleh pamannya. Orang tua bayi itu meninggalkan anak mereka bersama pamannya di rumah.

Suatu hari bayi itu sakit. Badannya panas. Dua kali dibawa ke fasilitas kesehatan pemerintah, tapi tidak ada kemajuan. Orang tua bayi itu membawa anaknya ke poliklinik swasta.

Rupanya, tenaga medis di poliklinik swasta tidak sekedar memegang badan bayi dan mendengar denyut jantung, tapi semua bagian tubuh bayi diperiksa.

Tenaga medis menemukan vagina bayi itu bengkak. Biar pun penyebab panas sudah ditemukan tapi sudah terlambat karena pengobatan tidak bisa lagi menyelamatkan nyawa bayi malang itu.

Dalam kaitan itu orang tua dan tenaga medis di fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas dan poliklinik swasta, diharapkan jika memeriksa bayi dan balita serta anak-anak tidak sekedar memegang badan dan mendengar denyut jantung tapi juga memeriksa semua bagian tubuh.

Kasus di Australia jadi perhatian bagi orang tua agar tidak melepaskan anak sendirian ke tempat-tempat yang memungkinkan terjadi kekerasan seksual secara tertutup, seperti toilet dan kamar mandi. Juga di tempat-tempat bermain di arena permainan, playgrup, atau di taman dan pantai.

Sedangkan dari kasus kematian bayi di Jakarta Timur diharapkan tenaga medis di fasilitas kesehatan tidak hanya sebatas meraba kening dan leher serta mendengar detak jantung bayi dan anak-anak yang berobat dengan keluhan demam dan panas.

Seorang bayi umur tiga tahun yang mengalami panas sudah beberapa hari dirawat tapi panas tidak turun. Bayi ini didiagnosis sebagai demam berdarah. Untunglah di rumah sakit itu ada seorang perempuan dokter tua. Dia pegang jidat si anak, "Coba konsul ke bagian urologi," kata dokter itu memberi nasehat kepada orang tua si bayi.

Eh, benar saja ternyata panas itu berasal dari infeksi di ujung penis. Dokter pun minta izin sekalian disunat. Anak tidak lagi panas dan bisa pulang ke rumah. Itu artinya perlu ketelitian dalam memeriksa pasien, khususnya bayi dan anak-anak.

Pelaku infantofilia dijerat dengan KUHP dengan pasal perkosaan, tapi juga bisa dijerat dengan UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman yang lebih barat yaitu 15 tahun penjara.

Tapi, bagi anak korban infantofilia hukuman bagi pelaku tetap saja tidak mengubah nasib mereka, jika tidak mati, yaitu menderita seumur hidup. Yang dikhawatirkan masyarakat juga ikut menghukum bayi dan anak-anak itu karena selama ini korban kekerasan seksual, seperti pelecehan dan perkosaan, selalu disalahkan, bahkan oleh kaum perempuan.

Jangankan awam kalangan perguruan tinggi pun ternyata menyalahkan mahasiswi korban perkosaan, seperti yang dialami oleh seorang mahasiswi UGM Yogyakarta ketika KKN di Maluku.

[Baca juga: "Rekomendasi Laki-laki" Selesaikan Kasus (Hukum) Perkosaan Mahasiswi UGM?]

Celakanya, wartawan dan polisi sering pula jadi pelaku sebagai 'the second rape' atau 'the second murder' dalam kasus-kasus perkosaan dan pembunuhan.

[Baca juga: Sebagian Media Melakukan "The Second Rape and Murder" terhadap Y di Bengkulu dan "The Second Rape" dalam Berita di Kompas.com]

Media massa dan media online serta polisi pun sering pula memberikan 'panggung' pembelaan kepada pelaku-pelaku kejahatan seksual. Wartawan, dalam hal ini media, dan polisi sering pula berperan sebagai pelaku kejahatan seksual kedua (the second rape) dengan menceritakan secara rinci kekerasan seksual yang dialami korban.

[Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan]

Sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meningkatkan sosialisasi untuk menghapus sikap buruk yang selalu menyalahkan korban kekerasan seksual. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun