(4). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (selingkuh, dll.) dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti di wilayah Kota Depok, di luar wilayah Kota Depok atau di luar negeri.
Adalah hal yang mustahil Pemkot Depok bisa mengawasi perilaku seksual nomor 1, 2, 3 dan 4 yang melibatkan warganya.
Lagi pula berapa sih jumlah gay, biseksual dan waria yang melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan dengan perilaku seksual nomor 1,2,3 dan 4 setiap hari?
Yang juga luput dari perhatian Pemkot Depok adalah penyebaran HIV di kalangan gay terbatas pada komunitas gay. Sedangkan penyebaran HIV di kalangan waria justru melibatkan laki-laki heteroseksual yang beristri. Sebuah survei di Surabaya, Jatim (1990-an) menunjukkan pelanggan waria adalah laki-laki beristri dan mereka jadi 'perempuan' (ditempong atau dianal) ketika seks dengan waria yang jadi 'laki-laki' (menempong atau menganal).
Dengan langkah 'memata-matai' LGBT dalam penularan HIV/AIDS Pemkot Depok menutup mata terkait dengan perilaku seksual nomor 1,2,3 dan 4 yang justru potensial sebagai penyebar HIV/AIDS di masyarakat Kota Depok.
Penyebaran HIV/AIDS yang melibatakan pelaku perilaku seksual berisiko nomor 1,2,3 dan 4 terjadi secara diam-diam karena warga yang tertular HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sebagai pengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan mereka.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kota Depok terus terjadi bagaikan 'bom waktu' yang kelak berakhir pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H