" .... shelter tersebut akan menjadi tempat evakuasi bagi masyarakat ketika bencana tsunami terjadi." Ini dikatakan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB), Sutopo Purwo Nugroho (kompas.com, 28/12-2018).
Disebut Sutopo 'bagi masyarakat'. Itu artinya untuk semua warga yang bermukim di zona tumbukan tsunami.
Sutopo tidak memperhitungkan waktu antara mulai tsunami di laut sampai bunyi sirene dan SMS ke warga dengan kemampuan semua warga menyelamatkan diri ke shelter. Bagi warga di pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung, misalnya, lidah tsunami sudah menyentuh bibir pantai antara 3 -- 5 menit.
[Baca juga: Perbincangan Tsunami Tanpa Upaya Riil Mencegah Korban]
Ketika sirene berbunyi, apalagi di malam hari, kegiatan warga berbagai macam. Ada yang belum tidur, menonton televisi, tidur, menyusui anak, dll.
Dalam sebuah rumah, misalnya, ada suami, istri dan tiga anak balita serta sepasang mertua yang lansia. Andaikan istri sedang hamil. Apakah suami bisa menyelamatkan istri, anak-anak dan mertuanya dalam waktu 5 menit agar sampai ke shelter? Kondisi kian runyam jika di keluarga ada penyandang disabilitas dan penderita stroke.
Mustahil! Jangankan menggendong tiga anak berlari sendirian pun tidaklah semudah yang dibayangkan. Biar pun jalur evakuasi sudah disiapkan adalah hal yang sulit berlari sendirian meninggalkan istri, anak-anak dan mertua menentang maut.
Andaikan warga bisa dievakuasi ke shelter, tapi harta benda, seperti rumah, perabotan, kendaraan bermotor, dll. disapu tsunami. Itu artinya jadi beban pemerintah pula untuk membantu kehidupan ekonomi warga.
Memang, perlu juga dipikirkan asuransi bencana terkait dengan risiko terjangan tsunami. Tapi, yang jadi masalah ada kemungkinan preminya sangat besar karena risiko juga sangat tinggi.
[Baca juga:Â Asuransi Kerugian Akibat Bencana Alam]