Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perbincangan Tsunami Tanpa Upaya Riil Mencegah Korban

25 Desember 2018   13:01 Diperbarui: 25 Desember 2018   13:27 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Lost City

Laporan menyebutkan sejak tahun 416 sampai tsunami 22/12-2018 sudah 12 kali tsunami menghantam pesisir barat Banten. Tsunami yang terjadi tahun (1) 416, (2) Oktober 1722,  (3) 24 Agustus 1757, (4) 4 Mei 1851, (5) 9 Januari 1852, (6) 27 Agustus 1883, (7) 10 Oktober 1883, (8) Februari 1884, (9) Agustus 1889, (10) 26 Maret 1928, (11) 22 April 1958, dan (12) 22 Desember 2018 (news.detik.com, 23/12-2018).

Antropolog di Banten, (alm) Dr Halwany Michrob, dalam berbagai kesempatan berbincang dengan penulis di tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an mengatakan bahwa ada beberapa 'kota' di Labuan yang tertimbun akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Halwany menyebut di Caringin, antara Labuan dan Carita, sebagai 'the lost city'. Halwany sudah merancang ekskavasi (penggalian yang dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala), tapi ajal keburu menjemputnya. Padahal, menurut Halwany, Caringin bisa jadi salah satu dari sedikit tempat ekskavasi di dunia.

Daripada mengandalkan sirene peringatan dini dengan kemungkinan penyelamatan yang sangat kecil adalah lebih arif mengikuti jejak Jepang yang merelokasi permukiman dari zona terjangan tsunami. Jalan tengah bisa dengan meningkatkan teknologi peringatan dini tsunami dan sekaligus membebaskan zona tumbukan tsunami dari berbagai kegiatan.

[Baca juga: Hanya Berkutat Seputar (Penyebab) Tsunami]

Celakanya, di era otonomi darah tidak ada lagi garis komando dari Pemerintah Pusat ke pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Itulah sebabnya UU dan Perpres tentang sempadan pantai diacuhkan daerah. Biarpun ada ketentuan (Pasal 25 dalam Perpres 51/2016) bahwa pemerintah daerah  wajib menetapkan batas sempadan pantai paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Perpres diundangkan tentulah tidak mengikat karena daerah mempunyai kekuasaan absolut untuk berbagai hal kecuali sektor luar negeri, moneter dan hankam.

Maka, agar tidak banyak korban nyawa yang mati sia-sia karena terjangan tsunami terpulang kepada kebijakan daerah dengan menaati batas sempadan pantai dari ancaman terjangan tsunami atau tetap memanfaatkan pantai untuk mendongkrak PAD (pendapatan asli daerah) dengan 'tumbal' warga? *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun