* Stigma dan diskriminasi ada di hilir
Rilis Pers: Tiada Penanggulangan HIV Tanpa Penghapusan Stigma dan Diskriminasi. Ini judul di lbhmasyarakat.org (30/11-2018). Judul ini provokatif dan tidak memberikan ruang untuk penanggulangan yang baik karena mengabaikan penanggulangan di hulu.
Dalam konteks epidemi HIV/AIDS penanggulangan dilakukan di hulu dan hilir secara simultan dengan skala nasional.
Stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) adalah bentuk tanggapan banyak kalangan di masyarakat terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena informasi tentang HIV/AIDS yang disebarkan media massa dan medi online serta melalui berbagai pidato pejabat, caramah, dll. yang tidak akurat karena dibumbui dengan moral.
![Dok Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/12/18/ilus-aids-2-lbh-5c185523c112fe0fb13f7687.jpg?t=o&v=770)
Penanggulangan di hulu adalah upaya untuk menurunkan, sekali lagi menurunkan karena mustahil menghentikan, insiden infeksi HIV baru khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung.
PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki hanya bisa dilakukan pada hubungan seksual dengan PSK langsung, tapi praktek PSK langsung harus dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi tidak ada lagi lokres (lokalisasi dan rehabilitasi) pelacuran. Maka, praktek PSK langsung pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang tidak bisa diawasi.
Sedangkan intervensi terhadap PSK tidak langsung jelas tidak bisa dilakukan karena tidak ada tanda yang khas, transaski seks pun terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat dengan berbagai modus, bahkan memakai teknologi telekomunikasi, seperti ponsel dan media sosial.
Maka, sangat disayangkan pernyataan yang menyebutkan bahwa tidak ada penanggulangan epidemi HIV/AIDS tanpa penghapusan stigma dan diskriminasi. Ini jelas provokasi yang justru jadi kontra produktif terhadap upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS yang selama ini dijalankan oleh berbagai kalangan
Disebutkan dalam rilis: LBH Masyarakat mencatat setidaknya terdapat  empat  persoalan mendasar yang menghalangi upaya penanggulangan HIV secara efektif.
Yang pertama disebutkan tentang pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). KPAN disatukan dengan Ditjen P2P, Kemenkes RI. Lagi pula di era otonomi daerah (Otda) masalah kesehatan adalah urusan daerah, dalam hal ini provinsi, kabupaten dan kota. HIV/AIDS bukan, dan tidak akan pernah disebutkan sebagai wabah sehingga tidak ada hak Pusat, dalam hal ini Kemenkes RI, untuk mencampuri penanggulangan HIV/AIDS di pemerintahan daerah.
Persoalan kedua adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang disampaikan ke masyarakat sejak awal epidemi selalu dibumbui dengan moral sehingga yang ditangkap masyarakat adalah mitos (anggapan yang salah).
[Baca juga: Diskriminasi terhadap Pengidap HIV]
Sedangkan yang terkait dengan peraturan daerah (Perda), dalam rilis sebagai hal yang ketiga, Â sudah jelas secara hukum berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pemerintah, dalam hal ini Mendagri, tidak bisa menghapus atau membatalkan perda. Apalagi rencana pemerintah untuk menghapus perda-perda yang menghambat pembangunan justru dimanipulasi banyak kalangan dengan menyebutkan pemerintah akan menghapus perda syariat.
Terkait dengan penolakan dan persekusi terhadap kelompok kunci, salah satu faktor pendorong justru dari kalangan itu sendiri yang mempertontonkan perilaku dan membuat berbagai istilah yang membingungkan masyarakat.Â
Secara internasional sudah ada terminologi PLWHA (People Living With HIV/AIDS) yang oleh mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Bahasa, dulu Dekdikbud, disebut sebagai Odha, tidak dengan huruf-huruf kapital karena ini bukan akronim atau singkatan tapi kata yang mengau ke Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS. Menurut Prof Anton waktu itu kata ini lebih baik (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Pembentukan istilah atau terminologi baru merupakan eksklusifisme sebagai enclave di masyarakat sehingga menjauhkan Odha dengan masyarakat. Ini yang tidak disadari banyak kalangan. Odha bukan predikat atau titel, tapi sebagai padanan dari PLWHA agar tidak ada lagi simpang-siur dalam pemberian terminologi terkait dengan HIV/AIDS.
Fakta lain yang menyesatkan adalah penyebutan lesbian dalam konteks LGBT yang selalu dikaitkan dengan HIV/AIDS. Seks pada lesbian tidak berisiko tinggi dalam penularan HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi.
[Baca juga: Kaitkan Lesbian Langsung dengan Penyebaran HIV/AIDS Adalah Hoax]
Ada kesan bahwa stigma dan diskriminasi sebagai faktor yang menghalangi orang ingin mengetahui status HIV-nya sesuai dengan tema Hari AIDS Sedunia (HAS) 2018. Tapi, ini bukan faktor utama.
Yang jadi persoalan besar adalah mitos yang selama ini berkembang jadi penghambat karena orang merasa tidak berisiko tertular HIV karena mitos yang terus-menerus disebarluaskan.
[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]
Kalau saja LBH Masyarakat mau berpikir jernih dengan mengajak kalangan terkait berbicara, maka ada hal yang bisa dilakukan tanpa harus menimbulkan kegaduhan. Tidak sebatas kritik, tapi memberikan langkah konkret dalam penanggulangan HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI