Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ironis, Tren Toleransi Publik terhadap Suap Meningkat

11 Desember 2018   13:26 Diperbarui: 9 April 2023   11:54 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: togofirst.com)

*Cegah suap, gratifikasi dan korupsi segera dibuat UU PembuktianTerbalik

Berbagai cerita terkait dengan suap, sogok, gratifikasi dan korupsi membuktikan suap dan korupsi tidak masalah bagi setengah orang di negeri ini. Puluhan pertemanan saya hapus dari Facebook karena mereka toleran dengan koruptor.

Lihat saja posting-an ketika kampanye Pilkada DKI tahun 2017 ini: Biar koruptor asalkan seiman. Ini salah satu bukti bahwa toleransi terhadap korupsi sangat tinggi.

Dada saya sering nyesak ketika mendengar pembicaraan dalam berbagai kesempatan tentang pemberian hadiah, oleh-oleh dan uang. Bahkan, biar pun ybs. tidak ada ada saja yang bercerita bahwa di Anu kalau tugas ke luar kota dari instansinya ketika hendak pulang diberikan oleh-oleh dan amplop.

Mereka bercerita tentang oleh-oleh dan amplop tanpa beban. Bahkan, dalam pandangan saya mereka sedikit bangga menceritakan ada kerabat yang menerima amplop ketika tugas ke daerah. Padahal, jelas ybs. ditugaskan instansi untuk suatu urusan sehingga semua keperluan sudah disiapkan instansi asal ybs.

Maka, amatlah masuk akal hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui "Survei Nasional: Tren Persepsi Publik tentang Korupsi di Indonesia" yang menunjukkan tren toleransi publik terhadap praktik suap dan gratifikasi naik dibandingkan data tahun 2017 (kompas.com, 10/12-2018).

Seorang pegawai sebuah instansi dihardik atasannya karena tidak bisa memenuhi permintaan kepala instansinya yaitu sejumlah uang untuk keperluan hari besar keagamaan. "Lapor, Pak, saya tidak tahu cari uang sebanyak itu." Jawaban yang diterima bawahan ini di luar perkiraannya, "Goblok." Akibatnya, bawahan tadi sulit naik jenjang kepegawaian. Yang membanggakan bawahan tadi istrinya justru mendukung sikapnya.

"Pilima nadia giotmu. Anak Si Baginda doho 'kan." (Pilih saja yang kau mau. Kau anak Pak Baginda, kan) Inilah yang selalu dikatakan pemilik toko di Kota "Kota Salak" Padangsidimpuan, kira-kira 450 km arah barat daya Kota Medan, kalau saya mencari sesuatu. Ketika itu saya duduk di SMP di pertengahan tahun 1960-an.

Saya malah bingung karena diberikan pulpen Parker yang mahal. Memang, di kantong sudah ada uang diberikan alm. Dainang (Ibunda) untuk membeli pulpen tapi tidak merek Parker. Ketika alm Damang (Ayah) mengetahui saya menerima pulpen Parker dari toko, maaf, Tionghoa, di kota (di sana disebut pasar) dia pun marah dan minta saya mengembalikan pulpen tsb.

Hampir semua toko warga Tionghoa selalu berkata seperti itu kalau saya mencari sesuatu. Saya bingung, ada apa gerangan?

Belakangan saya dapat jawaban. Rupanya, ketika mereka mengurus kewarganegaraan di kantor pengadilan mereka tidak pernah diminta uang. Ini saya ketahui dari pegawai di kantor itu.

Itu artinya di tahun 1960-an pun sudah ada 'uang pelicin' atau 'uang administrasi' tentu saja dengan memanfaatkan kedudukan atau jabatan. Dalam bahasa lain bisa disebut sebagai 'naked power' yaitu memamai kekuasaan tanpa dasar untuk mendapatkan sesuatu yang justru melawan hukum.

Hasil dari survei tsb. menunjukkan 34 persen responden (2.000) menilai pemberian uang atau hadiah ketika berhubungan dengan pihak instansi pemerintah wajar. Ini bukan jumlah yang sedikit. Jika berpijak pada good governance (kesepakatan terkait dengan penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh pemerintah dengan dukungan masyarakat madani dan pihak-pihak lain) seharusnya 100 persen responden menolak pemberian uang atau hadiah terkait dengan urusan ke instansi. Sedangkan suvei tahun 2016 hanya 30 persen responden yang menilai pemberian uang atau hadiah wajar. Survei tahun 2017 hanya 26 persen responden yang menilai uang hadiah wajar.=

Peneliti senior LSI, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan: " .... Jangan-jangan kita yang ada di elite belum maksimal melakukan pendidikan ke masyarakat sehingga pemahaman mereka soal itu tidak seperti yang kita harapkan."

Burhanuddin benar karena pemahaman yang tidak komprehensif. Misalnya, ada makanan yang dilarang dimakan. Tapi, ketika makanan yang boleh dimakan dibeli dengan uang hasil mencopet, menipu, merampok, membegal, suap sampai korupsi makanan tsb. tidak (tergolong) makanan yang dilarang dimakan.

Maka, perlu revolusi pendidikan untuk membalik paradigma berpikir bahwa (makanan) yang boleh dimakan pun bisa jadi yang tidak boleh dimakan kalau diperoleh dengan cara-cara yang melawan hukum.

Itu dari aspek moral, sedangkan dari aspek hukum sudah saatnya ada UU Pembuktian Terbalik. Setiap orang wajib membuktikan asal-usul uang yang dia terima. Uang hasil menang judi pun bisa legal karena dimenangkan di tempat-tempat perjudian legal dengan bekal surat keterangan. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun