Disclaimer: Artikel ini semata-mata dari aspek realitas sosial sehingga sama sekali bukan dengan sudut pandang agama tapi perspektif seksualitas.
Paus Fransiskus menyatakan keprihatinan mendalam tentang tingkah-laku homoseksual yang dilakukan oleh sebagian pastor Katolik. Katanya, ini terjadi bersamaan dengan semakin populernya perilaku homoseksual dalam masyarakat. Ini pernyataan di lead berita "Prihatin Perilaku Homoseksual di Gereja, Paus: Harus Lebih Ketat Pilih Calon Pastor" (VOA Indonesia, 7/12-2018).
Pertama, saya salut dengan Paus Fransiskus yang sejak terpilih (2013) selalu bicara faktual terkait dengan seksualitas di lingkungan gereja, dalam hal ini Katolik. Ini berbeda dengan pemuka agama-agama lain yang memilih membisu ketika ada kasus terkait kekerasan dan kejahatan seksual yang melibatkan tokoh agama, bahkan di ranah peribadatan.
Kedua, saya tidak sependapat dengan Paus terkait dengan pernyataan "terjadi bersamaan dengan semakin populernya perilaku homoseksual dalam masyarakat" karena sejak zaman Nabi Luth sudah dikenal homoseksualitas. Hanya saja sekarang di era keterbukaan informasi tentang homoseksualitas banjir melalui berbagai macam media. Dahulu media sangat terbatas.
Ketiga, terkait dengan judul yang dikatakan oleh Paus bahwa "harus lebih ketat pilih calon pastor" tidak objektif karena orientasi seksual tidak bisa dikenali secara fisik. Bahkan, pada waria (transgender) pun tidak bisa diketahui orientasi seksual mereka karena ada waria yang heteroseksual dengan istri dan anak. Ada pula yang homoseksual.
Keempat, kekerasan seksual dengan sodomi sama sekali tidak otomatis terkait dengan orientasi seksual karena sodomi adalah bentuk perkosaan dengan seks anal dengan laki-laki dan perempuan.
Bertolak dari empat hal di atas bisa jadi orang-orang, dalam hal ini terkait dengan agamawan, yang menyalurkan dorongan seksual dengan bayi, anak-anak dan remaja terkait dengan parafilia yaitu menyalurkan dorongan seksual dengan cara lain.
Karena korban kejahatan seksual yang melibatkan agamawan umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja pada rentang usia 7-12 tahun, maka ini merupakan bentuk prafilia yang disebut paedofilia.
[Baca juga: Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual 'di atau dari Sisi Lain' dan Salah Kaprah tentang Paedofilia]
Pedofilia adalah laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan seks vaginal dan seks anal dengan anak-anak umur 7-12 tahun.
Sedangkan perempuan dewasa yang melakukan hubungan seksual, vaginal dan anal, dengan anak-anak dan remaja umur 7-17 tahun disebut cougar.
[Baca juga: Cougar, Fantasi Romantis Seks Remaja Bagi Perempuan Dewasa]
Maka, "peraturan selibat harus dijalankan" bukan hal semudah membalik telapak tangan karena libido seks tidak bisa dimatikan. Dengan kebiri sekali pun, seperti memotong buah zakar dan penis atau mengangkat vagina dan rahim, Â libido tetap ada. Itulah sebabnya laki-laki yang berganti kelamin akan kesulitan menyalurkan libidonya karena tidak ada lagi buah zakar dan penis, sedangkan vagina yang dibentuk dengan operasi plastik tidak bersentuhan dengan libido.
Lagi pula selibat adalah sebuah pilihan hidup yang bersumber dari suatu pandangan atau pemikiran tertentu yang memutuskan sang pribadi untuk memilih hidup tanpa menikah (id.wikipedia.org). Memutuskan tidak menikah tidak otomatis mematikan libodo. Maka, tetap diperlukan penyaluran seks yang tidak bisa disubstitusi dengan kegiatan lain.
Dikatakan oleh Paus Fransiskus bahwa tidak ada tempat bagi perilaku homoseksualitas dalam kehidupan kepastoran.
Lalu, bagaimana dengan perilaku heteroseksual?
Tentu saja libido heteroseksual tidak bisa dimatikan hanya dengan selibat karena selibat ada di ranah aturan sedangkan libido merupakan kodrat yang dibawa sejak lahir yang menyatu dalam metabolisme tubuh.
Peraturan Gereja Katolik menyebutkan bahwa kecenderungan homoseksual saja bukanlah dosa, seperti hubungan seksual antara dua orang dari jenis kelamin yang sama.
Ya tentu saja karena orientasi seksual ada di alam pikiran. Yang jadi (dosa) adalah jika orientasi seksual dilakukan di luar aturan sosial, agama dan hukum.
[Baca juga: LGBT Sebagai Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran]
Di kalangan remaja dan peselingkuh tidak sedikit yang melakukan seks ala homoseksual, dalam hal ini gay, yaitu melakukan seks anal atau seks oral untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Bahkan, tidak sedikit pasangan heteroseksual yang justru melakukan perilaku seksual LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) yaitu seks oral, seks anal dan posisi "69".
[Baca juga: Heteroseksual pun Tidak Sedikit yang Lakukan Perilaku Seksual LGBT]
Biar pun yang jadi persoalan adalah homoseksualitas, tapi kemudian bukan toleransi bagi agamawan untuk melakukan kejahatan seksual sebagai heteroseksual. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H