UNAIDS: Petugas Kesehatan, Media, dan Keluarga Turut Mendiskriminasi Pengidap HIV. Ini judul berita di kompas.com, 30/11-2018.
Diskriminasi yaitu perlakuan berbeda terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) atau pengidap HIV/AIDS terjadi setelah terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Itu artinya dikriminasi terjadi di hilir.
Disebutkan: Masih banyaknya diskriminasi membuat mereka yang terinfeksi virus tersebut menjadi malas untuk mencari informasi atau berobat.
Pernyataan di atas tidak akurat karena orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV dengan standar baku dan yang terdeteksi ketika berobat serta ibu hamil justru mengakses pengobatan di fasilitas kesehatan tempat mereka tes HIV.
Persoalan besar di Indonesia adalah tingkat kesadaran sebagian orang yang terkait dengan perilaku seksual mereka. Ini terjadi karena mitos yang dibangun oleh pemerintah di awal-awal epidemi HIV/AIDS terutama sejak pemerintah mengakui ada AIDS di Indonesia (1987).
[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]
Pernyataan "Stigma dan diskriminasi yang masih berkembang soal penderita HIV/AIDS menjadi kontributor utama sulitnya penanganan kasus ini" tidak jelas apakah disampaikan oleh Direktur Program bersama PBB untuk penanganan AIDS (UNAIDS) untuk Indonesia Tina Boonto atau kesimpulan wartawan.
Karena stigma dan diskriminasi ada di hilir, maka hal itu bukan faktor yang membuat penanganan HIV/AIDS jadi sulit karena yang jadi persoalan adalah penularan baru atau insiden infeksi HIV baru di hulu.
Jika perhatian hanya tertuju pada upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi itu sama saja dengan membiarkan warga tertular HIV, terutama laki-laki dewasa, yang selanjutnya jadi mata rantai penyebar HIV/AIDS di masyarakat. Yang beristri akan menularkan HIV ke istri, bahkan ada yang beristri lebih dari satu. Jika istri tertular maka ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya kelak terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Disebutkan dalam berita: Akibatnya (akibat stigma dan diskriminasi-pen,), berdasarkan data UNAIDS, hanya sekitar 96.298 dari 630.000 pengidap virus HIV di Indonesia yang berobat, per Juni 2018.
Ini juga tidak jelas apakah pernyataan Tina Boonto atau kesimpulan wartawan. Pernyataan ini tidak akurat karena:
Pertama, tidak tepat mengaitkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dengan jumlah Odha yang mengakses pengobatan. Karena tidak semua orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS otomatis meminum obat antiretroviral (ARV). Sesuai anjuran pengidap HIV/AIDS minum obat ARV ketika hasil tes CD4 di bawah 350.
Kedua, estimasi jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 630.000 terdiri atas infeksi HIV dan kasus AIDS. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 1/10-2018, jumlah kasus AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2018 adalah 108.829 dengan 15.855 kematian.
Ketiga, itu artinya pengidap AIDS di Indonesia berjumlah 92.974. Tentu saja tidak semua dengan kondisi CD4 di bawah 350. Disebutkan dalam berita yang mengakses obat 96.298.
Keempat, layanan fasilitas kesehatan yang menyediakan pengobatan dan obat ARV di beberapa daerah sangat jauh dari tempat tinggal mereka sehingga jadi alasan tidak pergi ke fasilitas kesehatan.
Maka, yang diperlukan sekarang adalah langkah konkret untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah infeksi baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Tanpa program ini, maka insiden infeksi HIV akan terus terjadi.
Laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Itu artinya penyebaran HIV jadi 'bom waktu' yang kelak akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H