Kasus HIV/AIDS Di Tasikmalaya Kebanyakan Menimpa Kaum Ibu. Ini judul berita di jabarnews.com (24/11-2018).
Disebutkan dari 340 kasus kumulatif HIV AIDS yang tercatat Dinkes Kabupaten Tasikmalaya ternyata 40 persen di antaranya adalah ibu rumah tangga. Sedangkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Barat, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018 tercatat sebanyak 37.885 yang terdiri atas 31.293 HIV dan 6.592 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jawa Barat pada peringkat ke-4 jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak secara nasional dari 34 provinsi.
Judul berita ini tidak menggambarkan realitas sosial dan cenderung menyudutkan kaum ibu, dalam hal ini ibu rumah tangga atau istri. Kalau saja yang membuat judul ini tidak terperangkap dalam pola pikir patriarkat, maka judul yang objektif dan akurat adalah: Kasus HIV/AIDS Di Tasikmalaya Kebanyakan Ditularkan Suami ke Istri.
Survei Kemenkes RI pada akhir 2012 menunjukkan ada 6,7 laki-laki dewasa di Indonesia yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Celakanya, dari jumlah itu 4,9 juta beristri (antarabali.com, 9/4-2013), Dari tahun 1987 sampai dengan September 2014 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS dilaporkan sebanyak  6.539 (nasional.republika.co.id, 15/1-2015).
Maka, kalau kemudian di Kab Tasikmalaya, Jabar, banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami itu menunjukkan perilaku seksual suami-suami yang berisiko tertular HIV/AIDS, al. sering seks tanpa kondom dengan PSK.
Pemkab Tasikmalaya boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Di wilayah Kabupaten Tasikmalaya tidak ada pelacuran!
Secara de jure hal itu benar karena sejak reformasi semua lokalisasi yang di masa Orde Baru sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK ditutup.
Tapi, secara de facto, apakah Pemkab Tasikmalaya bisa menjamin 100 persen tidak ada praktek pelacuran di wilayah Kab Tasikmalaya?
Tentu saja tidak bisa! Soalnya, biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran tapi praktek pelacuran melalui transaksi seks yang melibatkan PSK, baik langsung maupun tidak langsung, terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus bahkan memakai media sosial.
Secara de jure memang tidak ada PSK yang disebut PSK langsung yang biasa beroperasi di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Tapi, secara de facto ada PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Nah, apakah Pemkab Tasikmalaya bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Kab Tasikmalaya yang seks dengan PSK tidak langsung di wilayah Kab Tasikmalaya atau di luar wilayah Kab Tasikmalaya?