Pemda Cuekin Peta Gempa Indonesia, Ini Respons Jonan. Ini judul berita di detiknews (5/10-2018). Disebutkan Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Geologi memiliki peta kawasan rawan bencana, yaitu gempa bumi, tsunami, pergeseran tanah, dan gunung api.
Celakanya, belum semua pemerintah daerah (Pemda) menggunakan rekomendasi tersebut dalam pengembangan kewilayahan dan tata ruang. Menteri ESDM Ignasius Jonan bahkan belum pernah mendapatkan feedback langsung dari Pemda terkait atas laporan tentang pergeseran tanah kegempaan atau yang dikirimkan pihaknya.
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian bencana alam selalu memakain korban jiwa yang banyak. Sedangkan di banyak negara yang juga terdampak bencana alam, seperti Jepang dan AS, korban jiwa sedikit. Bahkah, tsunami tahun 2011 di Jepang hanya mereneggut belasan ribu nyawa.
Jepang menjalankan program yang melindungi warga dari terjangan lidah tsunami dengan mengatur penggunaan lahan di bibir pantai. Permukiman jauh ke daratan yang tidak terjilat lidah tsunami.
[Baca juga: Tanpa Regulasi, Tsunami akan Terus Makan Korban dan Relokasi Permukiman dan Garis Pantai yang Terdampak Bencana Tsunami]
Setelah tsunami yang menghantam Palu dan Donggala, Sulteng (28/9), hanya sedikit perhatian terkait dengan penggunaan lahan di garis pantai yang diterjang tsunami. Perbincangan lebih banyak ke sektor peringatan diri dengan memakai peralatan yang disebut buoy.
Biar pun ada peringatan dini akan sulit bagi warga menyelematkan diri jika bermukin di pantai yang masuk dalam jangkuan lidah tsunami. Dengan kecepatan gelombang tsunami yang mencapai 970 km/jam di laut, maka lidah tsunami dengan cepat akan mencapai pantai.
Laporan data SMS Tsunami Warning, jika air laut surut setelah gempa, maka warga yang tinggal di pesisir punya waktu sekitar 5 - 10 menit untuk menyelamatkan diri (VOA Indonesia, 2/10-2018). Â Dengan rentang waktu 5-10 menit, seberapa jauh warga yang bemrukim di zona terjangan tsunami bisa berlari ke arah daratan?
Bagi manula atau lansia, balita, perempuan, dan perempuan hamil serta warga yang tidak sehat tentulah bukan hal yang mudah untuk berlari kencang menghindari lidah tsunami dalam waktu 5 -10 menit.
Persoalan kian pelik kalau tujuan berlari ke perbukitan yang sudah barang tentu memerlukan tenaga ekstra. Lagi pula ketika peringatan dini tsunami berbunyi tidak semerta semua warga siap berlari karena berbagai macam alasan, seperti ada yang sedang tidur, di kamar mandi, mengasuh anak, memasak, dll.
Itu artinya dari sirene peringatan diri berbunyi ada waktu yang diperlukan untuk berlari. Selama berlari bukan tidak ada masalah, misalnya kaki tersandung yang kemudian terinjak-injak.
Tidak bisa dibayangkan ibu-ibu yang menggendong bayi dan menuntut balita sambil menangis dan berteriak di tengah kerumunan warga yang panik. Lansia pun melangkah terseok-seok.
Dikabarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang bersama Kementerian PUPR sudah merancang permukiman baru untuk merelokasi warta terdampak tsunami di Kota Palu. Ini langkah terpuji karena jauh lebih baik merelokasi permukiman daripada sibuk mengurus buoy.
Tentu saja tantangan bagi pemerintah daerah di pesisir neger yang rawan diterjang tsunami. Tapi, dari pengalaman Kementerian ESDM yang sudah mengirimkan peta faktor penyebab bencana alam yang tidak ditanggapi daerah adalah usaha yang pelik untuk mengajak warga pindah dari garis pantai terdampak tsunami.
 Apakah relokasi harus menunggu (dulu) sampai tsunami datang menerjang bangunan, meratakan permukiman dan menelan korban jiwa? *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H