Gempa-Tsunami Sulteng, Pemerintah Kaji Relokasi Warga Pesisir Teluk Palu. Ini judul di Harian "Kompas" pagi ini (3/10-2018). Langkah ini tepat tapi tidak arif karena bukan hanya permukiman di Teluk Palu, Sulawesi Tengah, saja yang terdampak jika terjadi tsunami.
Tanpa relokasi, maka bencana akibat tsunami akan datang silih-berganti yang pada akhirnya menguras energi dan dana yang sejatinya bisa dihindarkan, paling tidak dampak tsumaki bisa ditekan dengan.
Jepang sudah membuktikan penataan pantai terdampak tsunami secara berarti menurunkan jumlah korban jiwa dan harta benda. Gempa yang menimbulkan tsunami pada tahun 2011, misalnya, "hanya" menelan belasan ribu korban jiwa.
[Baca juga: Tanpa Regulasi, Tsunami akan Terus Makan Korban]
Tsunami di Palu sampai 2/10 dilaporkan 12.000 lebih korban tewas. Ini belum merupakan jumlah ril karena belum semua reruntuhan bangunan disasar oleh tim penyelamat karena berbagai alasan yang logis, seperti medan yang berat, peralatan yang tidak memadai, dan kurangnya bantuan masyarakat lokal.
Di lead disebutkan Pemerintah berencana merelokasi warga korban gempa dan tsunami di sepanjang pesisir Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Itu salah satu bentuk penanganan komprehensif di daerah rawan bencana tersebut.
Mumpung masih angat, pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah sesuai dengan UU Otda, merancang relokasi permukiman di sepanjang garis pantai terdampak tsunami, al. pesisir barat Pulau Sumatera, pesisir selatan Pulau Jawa, pesisir utara dan selatan Bali-NTB-NTT, pesisir timur dan barat Pulau Sulawesi, pesisir di Maluku dan Maluku Utara, serta pesisir utama Papua dan Papua Barat.
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil, mengatakan pihaknya sudah mendapatkan lahan untuk relokasi permukinan warga dari Teluk Palu. Ini kabar bagus. Yang perlu diperhatikan adalah penegakan hukum (law enforcement) kelak agar tidak ada lagi warga yang membangun rumah di daerah (zona) terdampak tsunami.
Biar pun ada peringatan dini tsunami adalah hal yang mustahil warga bisa menyelamatkan diri dan harta benda jika tetap bermukim pada zona terdampak tsunami. Laporan "VOA Indonesia" (2/10-2018) menyebutkan Tsunami juga bisa bergerak dengan kecepatan hingga 970km/jam di laut terbuka. Ini sama cepatnya dengan kecepatan pesawat tempur.
Dengan kecepatan itu dan gelombang yang tinggi, maka lidah tsunami akan jauh menerjang ke daratan. Tentulah bukan hal yang mudah bagi warga untuk lari menyelamatkan diri dari terjangan gelombang yang tinggi dengan kecepatan yang tinggi pula.
Seperti yang dialami oleh “KM Sabuk Nusantara 39” dengan bobot 500 ton terdampar sejauh 70 meter dan berhenti di antara rumah warga di Pelabuhan Pantoloan, Palu, Sulteng, karena dihantam tsunami dengan kekuatan 7,4 Skala Richter.
Disebutkan pula: Menurut data SMS Tsunami Warning, jika air laut surut setelah gempa, maka warga yang tinggal di pesisir punya waktu sekitar 5-10 menit untuk menyelamatkan diri (VOA Indonesia, 2/10-2018). Nah, jika pantai landai dengan kecepatan lidah tsunami yang tinggi, apakah mungkin dengan berlari bisa terhindar dari lidah tsunami?
Maka, tidak ada pilihan lain selain menjauhi zona terjangan tsunami. Seperti diberitakan kompas.com (29/9-2018), paling tidak tujuh kali tsunami yang melanda Nusantara sebelum tsunami Palu, yaitu: Sulteng 7,3 SR (1968), Sumba 7 SR (1977), Flores 7,5 SR (1992), Banyuwangi 5,9 SR (1994), Kepulauan Banggai 6,5 SR (2000), Aceh 9,3 SR (2004), dan Pangandaran 8 SR (2006).
Dengan data ini tentulah bisa dipetakan daerah terdampak. Sedangkan daerah lain yang tidak pernah terdampak langsung tsunami tidak pula bisa mengelak untuk relokali karena tetap ada risiko tsunami yang tidak bisa diperkirakan dengan pasti. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H