Mengapa korban akibat tsunami di Indonesia sangat besar jika dibandingkan, misalnya, dengan Jepang?
Pertanyaan itu sangat masuk akal diajukan ketika banyak korban tewas akibat tsunami dua dekade terakhir di Indonesia. Tsunami yang melanda Aceh (2004), misalnya, disebut menewaskan 170.000 jiwa. Bandingkan dengan tsunami 2011 di Jepang yang hanya merenggut belasan ribu nyawa.
Sampai 29/9-2018 disebutkan korban tewas akibat gempa dan tsunami Donggala dan Palu, Sulteng, sudah mencapai 420 (kompas.com, 29/9-2018). Gempa dan tsunami terjadi di Donggala dan Palu pada 28/9-2018 pada pukul 18.02 Wita. Gempa dan tsunami ini merupakan kejadian berulang setelah terjadi di tahun  1927.
Tsunami adalah terjangan air laut secara vertikal yang terjadi tiba-tiba karena gempa bumi, letusan gunung berapi di bawah permukaan laut, pergeseran lempeng bumi di bawah permukaan air laut, atau terjadi longsoran di bawah permukaan air laut.
Maka, mitigasi bencana terkait dengan dampak tsunami dipusatkan di pesisir atau pantai yang berhadapan langsung dengan (air) laut. Pesisir di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa-Bali-NTB-NTT, serta pantai barat dan timur Pulau Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara, serta pantai utara Papua dan Papua Barat.
Jepang, misalnya, mengelola areal terdampak tsumani, al. mengosongkan areal pantai dengan jarak tertentu. Di areal ini dibangun tembok-tembok pemecah gelombang seperti undak-undakan. Setelah areal ini disiapkan lahan untuk kegiatan pertanian atau industri. Selanjutnya baru permukiman.
Maka, setinggi apa pun gelombang tsunami dampaknya terhadap manusia kecil. Bahkan, bangunan di zona industri juga ditetapkan dengan persyaratan yang ketat.
Di zona yang jadi terjangan tsunami hanya untuk keperluan pariwisata karena tidak jadi permukiman sehingga dampak buruk tsunami tidak besar. Kegiatan pariwisata pun diatur untuk mencegah korban yang banyak, misalnya, bangunan tidak permanen dan tidak pula boleh tempat bermukim.
Nah, di Indonesa pesisir yang rawan diterjang tsunami bahkan sampai ke garis sempadan pantai justru jadi permukiman, kegiatan industri dan pariwisata serta perkantoran. Tidak jarang pula rumah-rumah mamakai tiang pancang kayu karena sudah melewati garis pantai pasang.
Letusan Gunung Krakatau di tahun 1883 disebutkan sebagai salah satu letusan gunung berapi terdahsyat di Bumi yang juga menyebabkan tsunami yang menerjang Banten dan Lampung. Asap akibat letusan ini menutup langit sampai ke Eropa. Celakanya, ada film dengan judul: Â Krakatoa: East of Java (1968). Padahal, dengan kasat mata jelas Krakatau ada di Barat Pulau Jawa.
Jangankan karena tsunami, ombak dan gelombang pasang saja sudah merusak banyak bangunan di sepanjang garis pantai di Indonesia. Maka, tidak ada pilihan lain selain menerapkan aturan baku yang ketat tentang jarak permukiman ke garis pantai pasang (dari berbagai sumber). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H