2.274 Orang Terpapar HIV/AIDS di Jateng, Penularan Didominasi Hubungan Seks. Ini judul berita di news.okezone.com (7/9-2018). Ada beberapa hal yang jadi persoalan besar dari judul berita ini.
Angka ini adalah jumlah yang terdeteksi pada priode Januari-Juni 2018. Sedangkan secara kumulatif jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah mulai 1993 sampai Juni 2018 dilaporkan 23.603 yang terdiri atas 13.035 HIV dan 10.568 AIDS dengan 1.672 kematian.
Pertama, pemakaian kata 'terpapar' jelas tidak pas karena terpapar, dalam kontek HIV/AIDS, berarti virus (HIV) kena ke permukaan kulit. Dalam kaitan berita ini penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seksual bukan karena darah pengidap HIV/AIDS terkena ke permukaan kulit.
Kedua, pemakaian kata 'dominasi' juga tidak tepat karena dalam KBBI disebut dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Maka, yang tepat adalah 'penularan terbanyak melalui hubungan seksual'.
Ketiga, yang perlu dipersoalkan adalah mengapa banyak kasus penularan melalui hubungan seksual? Sayang, wartawan dan narasumber berita ini tidak membahas hal ini. Ada kesan lebih tertuju pada sensasi.
Keempat, adalah hal yang wajar penularan HIV/AIDS terbanyak melalui hubungan seksual karena: (a) banyak yang melakukan, dan (b) banyak yang tidak menerapkan seks aman.
Kelima, jumlah kasus yang dilaporkan, dalam hal ini 2.274, tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (2.274) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan ari laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini lebih arif, maka yang dibahas adalah: mengapa banyak warga yang tertular HIV melalui hubungan seksual?
Pembahasan aspek ini juah lebih bermanfaat daripada memunculkan angka dan pernyataan yang tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Misalnya, jumlah kematian terkait dengan HIV/AIDS yaitu 1.672. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Artinya, sebelum mereka ini meninggal tanpa mereka sadari mereka sudah menularkan HIV ke orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Andaikan ada 1 PSK yang meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS, maka sudah ratusan bahkan ribuan laki-laki yang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom. Nah, kalau saja dalam berita dijelaskan bahwa dari 1.672 pengidap HIV/AIDS yang meninggal ada PSK, maka berita pun menjelaskan agar laki-laki yang pernah seks dengan PSK segera menjalani tes HIV karena ada risiko tertular HIV.
Inilah yang diharapkan dari berita agar terjadi perubahan cara berpikir masyarakat terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Soalnya, salah satu fungsi media massa dan media online adalah sebagai agent of change yaitu agen perubahan.
Dikatakan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jateng, Zaenal Arifin: Masih adanya stigma buruk pada penderita HIV/AIDS menjadikan mereka enggan melapor atau memerisakan kesehatannya ke rumah sakit.
Stigma terjadi kepada orang-orang yang dipublikasikan sebagai pengidap HIV/AIDS, dan mereka ini tidak perlu melapor atau memeriksakan kesehatan karena sudah tercatat di Dinkes dan KPA melalui tempat tes.
Yang jadi persoalan adalah banyak orang yang termakan mitos (anggapan yang salah) sehingga celaka yaitu tertular HIV. Tapi, mereka tidak menyadari sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatna mereka.
[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"}
Karena sejak awal epidemi informasi HIV/AIDS dibumbi dengan moral, maka yang muncul hanya mitos. Misalnya, disebutkan sejak awal bahwa HIV/AIDS hanya menular melalui PSK di lokalisasi pelacuran.
Nah, banyak laki-laki yang merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka tidak seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Begitu pula dengan perempuan merasa tidak berisiko melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti karena mereka bukan PSK.
Pengalaman guru agama di Sumut ini bisa jadi gambaran riil yang jadi masalah besar di masyarakat.
[Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS]
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luat ikan pernihanan yang sah (sifat hubungan seksual) kalau salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali seks (kondisi hubungan seksual).
Disebutkan dalam berita: Pemerintah terus berupaya melakukan program penanggulangan HIV/AIDS dengan 3 Zero, yaitu tidak ada penularan baru HIV ....
Celakanya, tidak jelas langkah konkret apa yang dilakukan untuk meniadakan penularan HIV baru. Maka, pernyataan itu pun bagaikan utopia atau khayalan. Perda AIDS Jawa Tengah pun tidak memberikan program penanggulangan yang realistis.
[Baca juga: Perda AIDS Prov Jawa Tengah Mengabaikan Risiko Penularan HIV di Lokasi Pelacuran]
Yang diperlukan adalah program penanggulangan yang konkret al. menurukan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada lak-laki dengan cara intervensi agar laki-laki memakai kondom setiap kali seks dengan PSK.
Tanpa langkah yang konkret maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang seterusnya jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuaara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H