Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan "Berita Bohong" tapi "Informasi Bohong atau "Informasi Palsu"

12 September 2018   20:17 Diperbarui: 12 Juni 2024   14:54 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi (Sumber: steemkr.com)

Sejak media sosial jadi bagian dari kemajuan teknologi informasi yaitu Facebook, Twitter, Instagram, You Tube, dll. muncul istilah hoax yang diterjemahkan secara bebas sebagai 'berita bohong' atau 'berita palsu'. Ini menyesatkan karena tidak ada berita (news) yang bohong.

Selain itu dengan penyebutan 'berita bohong' akan menohok jurnalisme yang merupakan salah satu dari dua profesi setelah pengacara. Disebut profesi karena jurnalisme dengan wartawan sebagai pekerja adalah jenis pekerjaan terbuka dengan kode etik yang terbuka pula.

Maka, amatlah pas judul berita "ABC News" (Australia, 11/9-2018): Orang Australia Tidak Percaya Pada Media, Tapi Masih Menghargai Jurnalisme. Berdasarkan survei global tahunan perusahaan komunikasi "Edelman" di 28 negara di dunia disebutkan orang Australia ada di peringkat kedua terendah kepercayaan terhadap media. Sedangkan orang Turki ada di peringkat terendah.

Hasil survei tahun 2018 menunjukka sekitar 7 dari 10 orang Australia sekarang khawatir tentang penyebaran informasi palsu dan 'berita palsu' yang dipakai sebagai senjata untuk menyesatkan dan mempengaruhi opini publik.

Celakanya, di Indonesia banyak orang yang justru membaca informasi palsu yang diperoleh melalui mesin pencari dengan kata kunci tertentu yang sesuai dengan keinginan mereka, sebagian besar sebagai 'the haters'.

[Baca juga: Hoax Memang Dicari-caridan "Penggemar" Hoax Justru Mengabaikan Berita Faktual di Media Mainstream]

Namun, ada hal yang menggembirakan yaitu di tengah-tengah runtuhnya kepercayaan terhadap media "Kepercayaan pada "jurnalisme" --- bagian yang lebih spesifik dari media --- sebenarnya menguat."

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Roy Morgan pada Mei 2018 menemukan hampir separo warga Australia tidak mempercayai media sosial. Sebaliknya, hanya 9 persen warga Australia yang tidak mempercayai "ABC" (kantor berita dan penyiaran Australia). Jadi, kepercayaan di beberapa outlet berita tetap tinggi. Ini merupakan wujud nyata dari publik yang kian menaruh tempat yang tinggi pada berita dan sumber (berita atau informasi) yang kredibel.

Jika dibawa ke Indonesia, maka para penikmat hoax justru tidak mempercayai media mainstream yang mengedepankan sumber berita yang kredibel dan kompeten. Mereka justru lebih percaya kepada sumber yang jadi 'oposisi' atau orang-orang yang 'asbun' dengan nuansa politik kebencian. Maka, muncullah 'berita' yang hanya berupa fitnah dan ujaran kebencian (hate speech), serta radikalisme dan SARA yang dari aspek hukum merupakan kejahatan siber dengan jeratan UU ITE.

Celakanya, banyak orang yang angkat bicara bahwa UU ITE membungkam kebebasan berekspresi. Tapi, apakah fitnah, ujaran kebencian, radikalisme dan SARA merupakan ekspresi positif? Agaknya, para pemprotes UU ITE hanyalah orang-orang yang tidak bisa memakai akal sehat melancarkan kritik tapi hanya dengan caci-mati dan kebencian yang dibumbui dengan SARA.

[Baca juga: Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki? dan Melancarkan Kritik Melalui Tulisan Bukan dengan Mencaci-maki, Mengejek dan Menghina]

Kepercayaan orang Australia pada platform media sosial, seperti Facebook dan mesin pencari, runtuh pada tahun 2018. Orang Irlandia dan Swedia pada posisi yang lebih kurang percaya pada bentuk media tsb.

Disebutkan oleh "ABC News", sekarang Facebook menjalankan kampanye hubungan masyarakat terpadu dalam upaya nyata untuk memperbaiki citranya yang babak belur dan mendapatkan kembali kepercayaan dari pengguna. Maka, di Melbourne Facebook memasang billboard dengan pesan: "Berita palsu bukan teman kami." Yang dilanjutkan dengan pesan: "Kami bertekad untuk mengurangi itu."  

Itu artinya Facebook sedang bekerja dengan pemeriksa fakta secara global, meningkatkan teknologi, dan memberikan latar belakang informasi pada artikel dalam sajian berita yang dikirim melalui Facebook.

Dengan kata lain Facebook dan media sosial lain mempunyak pekerjaan yang harus mereka lakukan segera di tengah meningkatnya peringatan umum tentang penyebaran 'berita palsu' dan penyalahgunaan informasi pribadi untuk tujuan politik yang keji (seperti yang dilakukan oleh Cambridge Analytica).

Maka, perlu edukasi kepada masyarakat luat bahwa berita (news) tidak akan pernah bohong selama disiarkan oleh media massa dan media online terdaftar. Di Indonesia terdaftar di Dewan Pers karena sejak reformasi urusan media massa tidak lagi dipegang oleh instansi pemerintah tapi institusi yang dibentuk berdasarkan amanat UU Pers (yang digolongkan sangat liberal). Tidak ada lagi izin khusus untuk menerbitkan media. Yang diperlukan hanya badan hukum, dalam hal ini perseroan terbatas (PT). Wartawan pun tidak lagi wajib jadi anggota organisasi wartawan.

Berita sebagai hasil kerja wartawan di lapangan yang diperiksa (editing) oleh redaktur di kantor redaksi melewati tahapan-tahapan yang terukur. Berita yang sampai ke meja redaksi dicatat oleh sekretaris kemudian diserahkan ke asisten redaksi sesuai dengan rubrik berita yang diterima. Selanjutnya berita diperiksa asisten redaksi yang kemudian diserahkan ke redaktur atau penanggung jawab rubrik. Setelah itu pada media dengan organisasi yang baik masih ada lagi pemeriksaan, misalnya, redaktur pelaksan, dst.

Berita yang dikirim wartawan ke redaksi harus memenuhi unsur-unsur layak berita. Dalam buku Ashadi Siregar, dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Paket 4 Jurnalistik. PT Karya Unipers, Jakata, 1982, disebutkan berita harus memenuhi salah satu atau lebih dari enam unsur layak berita yaitu: significance, magnitude, timelyness, proximity, prominence dan human interest. Selanjut dilengkapi pula dengan kelengkapan berita yang dikenal sebagai 5W + 1H serta berita harus berimbang yaitu covering bothside.

Nah, hoax tentu tidak memenuhi unsur-unsur layak berita, kelengkapan berita dan tidak akan pernah berimbang karena tujuannya sebagai fitnah dan ujaran kebencian. Selain itu itu hoax dikirim atau dikirim ulang dengan memakai satu atau dua jari di keypad telepon pintar.

Maka, karena hoax berdampak buruk dan merugikan banyak pihak serta menyulut permusuhan, bahkan dengan bingkai SARA, sudah tepat jeratan hukum pidana bagi pelaku dengan memakai UU ITE. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun