Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Penyakit Kelamin" Merebak di AS, Bagaimana dengan Indonesia?

10 September 2018   12:29 Diperbarui: 10 September 2018   12:39 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pejabat di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, seperti dilansir kantor berita "AFP", mengatakan bahwa tahun 2017 kasus "penyakit kelamin"  mencapai rekor tertinggi. 2,3 juta kasus klamidia, gonore (kencing nanah) dan siflis (raja singa) dilaporkan terdeteksi pada warga Amerika sepanjang tahun 2017 (Jumlah Penderita Penyakit Menular Seksual Capai Rekor Tertinggi di Amerika, "VOA Indonesia", 30/8-2018).

Jumlah kasus tahun 2017 bertambah 200.000 dari kasus yang terdeteksi tahun 2016. Antara tahun 2013 dan 2017 dilaporkan jumlah penderita sifilis meningkat 76 persen dari 17.375 kasus  jadi 30.644 kasus. Pada rentang waktu yang sama gonore juga melonjak 67 persen, dari 333.004  jadi 555.608 kasus.

Disebutkan 70 persen kasus "penyakit kelamin" terdeteksi pada kalangan LSL (Lelak Suka Seks Lelaki), sedangkan klamidia 45% persen terdeteksi pada perempuan berusia 15 - 24 tahun. Kasus gonore naik dua kali lipat di kalangan laki-laki homoseksual.

Sedangkan di Indonesia dalam berbagai laporan resmi, seperti Kementerian Kesehatan RI, tidak ada laporan rinci tentang IMS. Penyakit menular yang selalu disebut adalah HIV/AIDS, campak, dll. 

Dengan melihat insiden infeksi HIV baru yang terus terjadi di Indonesia bisa dijadikan perbandingan untuk kasus IMS. Kalau penular HIV/AIDS juga mengidap IMS itu artinya ada penularan ganda yaitu IMS dan HIV/AIDS. Bahkan, penularan IMS jauh lebih mudah daripada HIV/AIDS.

Terkait dengan lonjakan "penyakit kelamin" tadi, CDC tidak mengetahui penyebabnya. Hanya saja disebutkan berdasarkan riset, kemiskinan, stigma masyarakat, diskriminasi dan pemakaian sejumlah obat disebut dapat mendorong tingkat penularan "penyakit kelamin".

"Penyakit kelamin" terkadang tidak disadari oleh penderitanya, terutama perempuan. Padahal, IMS bisa mengakibatkan ketidaksuburan, kematian bayi di kandungan, dan meningkatkan peluang terinfeksi HIV melalui hubungan seksual.

"Penyakit kelamin" adalah istilah yang dikenal secara umum karena beberapa penyakit tersebut. infeksinya terjadi di alat kelamin (alat reproduksi). Padahal, tidak semua penyakit yang disebut "penyakit kelamin" terjadi pada alat kelamin. Sebut saja virus hepatitis B yang infeksinya terjadi di darah. Begitu juga dengan HIV/AIDS infeksinya juga terjadi di daerah.

WHO memperkenalkan istilah yang lebih pas yaitu infeksi menular seksual (IMS), yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual penetrasi (vaginal, anal dan oral). Selain GO, sifilis, virus hepatitis B, virus kanker serviks dan klamidia di Indonesia juga dikenal jengger ayam yaitu IMS yang diderita perempuan.

Yang tidak masuk akal banyak laki-laki "hidung belang" yang merasa "beruntung" mendapatkan perempuan, seperti pekerja seks komersial (PSK), yang mengidap jengger ayam karena laki-laki merasa ada yang "menggaruk-garuk" penis. Pernah juga terjadi kasus jengger ayam pada seorang perempuan yang akan melahirkan. Dokter terpaksa mengoperasi jengger ayam dulu karena menutupi vagina perempuan tsb.

Penyebaran IMS di Indonesia jadi persoala besar karena ada mitos (anggapan yang salah) yang menyebutkan bahwa IMS hanya diderita oleh PSK. Maka, tidaklah mengherankan ketika seorang dokter di Batam, Kepri, diomelin pasien perempuan dengan pakain yang menutup kepala ketika dokter mengatakan penyakit yang diderita perempuan tersebut adalah "penyakit kelamin".

"Pak Dokter jangan sembarangan, ya," kata pasien tadi dengan nada tinggi, "Saya tidak pernah begituan (maksudnya berzina-pen.)."

Melalui konseling perempuan itu mengaku dia "simpanan" seorang laki-laki WN Malaysia. Itulah yang dia maksud bahwa hubungan seksual yang dia lakukan sah dan halal karena dengan suami. Dokter tadi tambah pusing karena adik pasien tadi juga mengidap IMS yang persis sama dengan yang diidap pasien tadi. Ada kemungkinan IMS ditularkan oleh laki-laki yang sama.

Dokter dari sebuah LSM yang menangani PSK di salah satu tempat pelacuran di Batam, Kepri, kebingungan menghadapi PSK yang rata-rata mengidap lebih dari dua penyakit IMS. Bahkan, ada PSK yang mengidap lima IMS: sifilis, GO, klamidia, trichomoniasis dan jengger ayam. "Saya bingung, Bang, yang mana duluan saya obati," kata dokter itu di awal tahun 2000-an. Yang bikin tambah bingung diobati salah satu dan sembuh, eh, kena lagi karena mereka melayani laki-laki tanpa kondom.

Akibat mitos yang mengaitkan IMS dengan PSK dan pelacuran, bisa jadi di Indonesia pun IMS merebak karena sejak reformasi lokasi dan lokalisasi pelacuran yang menjadi tempat "praktek" PSK langsung ditutup di banyak daerah. Akibatnya, transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak lansung.

Kondisi itu mengakibatkan tidak bisa lagi dilakukan intervensi untuk menurunkan risiko penyebaran IMS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya. Pengalaman Prof Dr dr DN Wirawan, MPH, ketua Yayasa Kerti Praja, di Denpasar, Bali, menunjukkan dengan advokasi dan dukungan terhadap PSK risiko penyebaran IMS bisa ditekan karena PSK hanya mau meladeni laki-laki yang memakai kondom.

[Baca juga:'Jemput Bola' ke Lokasi Pelacuran di Denpasar, Bali]

"Kita mengalami kemunduran," kata Jonathan Mermin, Direktur Pusat Nasional Pencegahan HIV/AIDS, Hepatitis, Penyakit Menular Seksual dan Tuberkolosis CDC. Lonjakan kasus IMS disebutkan Mermin sebagai kegagalan sistem pencegahan IMS.

Ketika HIV/AIDS merebak disosialisasi kondom sebagai alat mencegah penularan melalui hubungan seksual, tapi mendapat penolakan besar-besaran di banyak negara dengan alasan kondom mendorong orang berzina. Akibatnya, selain mendorong epidemi HIV penolakan terhadap kondom pun membuat IMS merebak.

Memang, klamidia, gonore dan sifilis bisa disembuhkan dengan obat antibiotik. Tapi, banyak penderita IMS malu berobat ke dokter atau pusat layanan kesehatan sehingga mereka memilih membeli obat di penjual obat bebas atau di K-5. Padahal, setiap IMS mempunyai karakteristik sendiri yang sudah barang tentu memerlukan pengobatan yang khas pula. Sedangkan di penjual obat bebas semua IMS akan disamaratakan dengan memberikan obat tertentu.

Pejabat Pejaba CDC hawatir akan mncul jenis gonore yang resisten terhadap antibiotik. Kalau ini terjadi tentulah IMS bisa membawa penderitanya lebih cepat ke liang lahat. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun