Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis

7 September 2018   21:37 Diperbarui: 7 September 2018   21:39 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: india.com)

"Ironisnya, pengidap HIV/AIDS didominasi usia produktif. Yakni 1.402 orang usia 20-29 tahun dan 1.229 pengidap usia 30-39."  Ini pernyataan dalam berita Pengidap HIV/AIDS di Yogyakarta Terbanyak Mahasiswa (jpnn.com, 5/9-2018). Bahkan, disebutkan: "Paling banyak kalangan mahasiswa, 739 orang. Sedangkan kalangan swasta 667," ungkap Kepala Seksi Pengendalian Penyakit, Dinkes DIY, Setyarini Hestu Lestari.

Ada beberapa hal yang luput dari perhatian terkait dengan pernyataan di atas, yaitu:

(1). Pemakaian kata 'dominasi' tidak tepat karena penularan HIV/AIDS bukan karena kekuatan atau kekuasaan. Dalam KBBI dominasi disebut: penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Maka, yang tepat adalah 'paling banyak' atau 'terbanyak'.

(2). Jika faktor risiko kasus HIV/AIDS pada usia produktif adalah hubungan seksual, maka secara empiris dorongan hasrat seksual ada pada usia produktif. Persoalannya adalah mereka tidak menerapkan seks aman (memakai kondom) ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

(3). Ada kemungkinan hubungan seksual terjadi dengan PSK tidak langsung, yaitu: PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

(4). Sejak awal epidemi HIV/AIDS yang diakui pemerintah di Indonesia (1987) informasi tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Salah satu di antaranya adalah disebutkan bahwa penularan HIV terjadi melalui hubungan seksual dengan PSK langsug di lokasi atau lokalisasi pelacuran.

(5). Maka, mahasiswa dan warga lain pun merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak seks dengan PSK langsung di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Inilah yang membuat celaka.

(6). Padahal, seks dengan PSK langsung (PSK yang kasat mata), seperti di Sarkem  (tempat pelacuran di Yogyakarta), sebelum ngamar sudah ada perjanjian laki-laki 'wajib pakai kondom'. Kalau ada laki-laki yang menolak setelah di dalam kamar, PSK akan berteriak dan 'keamanan' pun akan turun tangan.

Maka, yang ironis adalah kalau kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada bayi. Kalau ini yang terjadi itu artinya banyak suami yang melakukan seks berisiko sehingga tertular HIV/AIDS yang kemudian menularkan HIV/AIDS ke istrinya (horizontal). Selanjutnya istrinya akan menularkan HIV/AIDS ke bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).

Yang lebih ironis lagi kalau kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada manula (manusia lanjut usia) atau lansia (lanjut usia). Tentulah akan berlaku pepatah 'tua-tua keladi, makin tua makin menjadi-jadi'. Lansia melakukan seks berisiko di usianya yang sudah uzur.

Yang ironis lain adalah 'zaman now' ketika informasi HIV/AIDS yang akurat sudah banjir, kok masih ada yang termakan mitos sehingga tertular HIV/AIDS

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Disebutkan oleh Setyarini: Pengidap HIV/AIDS disarankan rutin minum obat untuk menekan angka kematian. Juga rutin cek kesehatan. "Kalau sudah diobati akan turun virusnya." Ini tidak tepat karena tidak semua pengidap HIV/AIDS otomatis minum obat antiretroviral (ARV). Ada waktu tertentu mereka harus mulai minum obat ARV yaitu ketika CD4 sudah di bawah 350 (ini diketahui melalui tes darah).

Dengan minum obat ARV bukan 'turun virusnya', tapi replikasi HIV di darah ditekan sehingga kerusakan sel darah putih sedikit. Di dalam tubuh HIV menggandakan diri di sel-sel darah putih yang dijadikan sebagai 'pabrik'. Sel-sela darah putih yang dijadikan 'pabrik' rusak, sedangkan virus HIV yang baru mencari sel darah putih lagi untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya.

Disebutkan pula: Pencegahan penularan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, penanaman nilai agama.

Lagi-lagi langkah yang dipilih Dinkes DI Yogyakarta ini tidak konkret. Tidak semua hubungan seksual yang berisiko dilakukan di luar nikah. Ganti-ganti pasangan pada kawin-kontra dan kawin-cerai juga merupakan perilaku berisiko tertular HIV. Seorang guru agama di Sumut tertular HIV dari istri kedua.

[Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS]

Di bagian lain disebutkan oleh Setyarini: "Jika tahu ada gejala, segera periksa. Jangan malu."        

Tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan seseorang yang tertular HIV. Gejala bisa terkait dengan HIV/AIDS kalau ybs. pernah atau sering melakukan perilaku berisiko, al. berhubungan seksual di dalam dan di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Masalah yang muncul dari pernyataan Setyarini itu adalah: Bagaimana kalau tidak ada gejala, tapi sering seks berisiko? Bisa jadi mereka tidak merasa ada risiko tertular HIV/AIDS karena tidak ada gejala. Ini yang bukin kacau.

[Baca juga: AIDS Bukan Soal Gejala, tapi Terkait dengan Perilaku]

Yang perlu dilakukan Dinkes DI Yogyakarta adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Selain itu merancang regulasi untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi.

Soalnya, warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penularan terjadi secara diam-diam karena pengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS. Kalau ini yang terjadi, maka epidemi HIV/AIDS di DI Yogyakarta akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun