Banyak kalangan, seperti aktivis AIDS, pakar, termasuk pemerintah, yang mengatakan bahwa stigma (pemberian cap buruk) terhadap LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) menghambat penanggulangan HIV/AIDS.
Celakanya, mereka juga yang menyuburkan stigma yang pada gilirannya mendorong masyarakat melakukan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap LGBT dengan pernyataan-pernyataan yang bombastis dan sensasional melalui media massa dan media online yang disebarkan melalui media sosial.
Silakan simak judul-judul berita di bawah ini.
LGBT Gaya Hidup yang Potensial Menyebarkan Penyakit HIV/AIDS (tribunnews.com, 23/1-2018). Pada lead ada kutipan: Rosmelia, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan gaya hidup yang potensial menyebarkan infeksi penyakit HIV/AIDS.
Pernyataan di atas tidak akurat karena belum ada laporan kasus HIV/AIDS pada lesbian. Seks pada lesbian (tidak penetrasi) bukan faktor risiko penularan HIV.
Sedangkan gay hanya menyebarkan HIV/AIDS di komunitas gay. Transgender bukan menyebarkan karena laki-laki heteroseksual yang menularkan HIV kepada mereka yang selanjutnya ada pula laki-laki heteroseksual yang tertular HIV/AIDS dari transgender.
Yang potensial justru biseksual (secara seksual tertarik ke laki-laki dan perempuan) karena kalau dia seorang laki-laki, maka dia jadi jembatan dan mata rantai penyebaran HIV/AIDS ke komunitas LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) dan istri atau pasangan seksnya yang lain.
Maka judul dan lead berita ini menguatkan stigma terhadap LGBT dan mendorong diskriminasi bagi LGBT.
Yang jauh lebih potensial menyebarkan HIV/AIDS adalah laki-laki heteroseksual yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV, al. sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK). Bahkan, ada laki-laki heteroseksual yang istrinya lebih dari satu. Celakanya, perilaku seks laki-laki heteroseksual selalu diabaikan.
(Baca juga: Bukan LGBT, Tapi Heteroseksual Penyebar HIV/AIDS yang Potensial).
Ini juga ngawur: 117 LGBT di Kota Tangerang Terjangkit HIV/AIDS (news.okezone.com, 27/12-2017). Secara faktual belum ada laporan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian.
Mengapa disebut ada lesbian terjangkit HIV/AIDS? Tidak ada pula perbandingan dengan heteroseksual sehingga dikesankan di Kota Tangerang hanya LBBT yang terjangkit HIV/AIDS.
Maka, lagi-lagi sumber berita ini, Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Tangerang, Tia Suryaningsih, menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap LGBT melalui wartawan yang menyebarluaskan informasi yang tidak akurat melalui media online.
Ada lagi judul berita seperti ini: Dokter Ungkap Bahaya LGBT, dari AIDS Sampai Sifilis (republika.co.id, 1/2/2018). Pada lead disebutkan: Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Dewi Inong Irana mengatakan pemerintah perlu mensosialisasikan mengenai bahaya perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Sebab, banyak dari pelaku LGBT, khususnya perilaku lelaki seks dengan lelaki (LSL), beranggapan bahwa hal tersebut tidak berbahaya. Yang berbahaya terkait dengan penyebaran IMS dan HIV/AIDS bukan LGBT, tapi perilaku seksual yang juga dilakukan oleh kalangan heteroseksual.
Judul berita ini menyudutkan LGBT dan membodohi masyarakat karena dikesankan heteroseksual tidak bahaya terkait dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV/AIDS.
Ini juga judul berita: Dokter Dewi Inong: LGBT Beresiko Tertinggi Tertular IMS dan HIV/AIDS (hidayatullah.com, 20/12-2017). Risiko tertular IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, bukan karena orientasi seksual (LBBT), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu ada kedua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Penularan AIDS di Tangsel Memprihatinkan, LGBT Paling Banyak Terjangkit (metro.sindonews.com, 21/1-2018). Di lead disebutkan: Penyebaran penyakit seksual Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) tergolong memprihatinkan. Data terbaru menyebutkan, total penderita AIDS di Tangsel mencapai 2.487 orang. Dari angka itu sebanyak 1.597 pasien berasal dari pasangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Pernyataan di lead berita itu benar-benar ngaco. AIDS bukan penyakit sehingga tidak menular. AIDS ada kondisi seseorang yang tertular HIV yang secara statistik terjadi pada kurun waktu 5-15 tahun setelah tertular. Disebutkan pula: .... pasien berasal dari pasangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)." Ini tidak akurat karena tidak ada kasus HIV/AIDS pada lesbian. Tidak ada pula perbandingan dengan kasus penularan pada heteroseksual dan ibu rumah tangga. Maka, berita ini lagi-lagi menyuburkan stigma dan mendorong diskriminasi terhadap LGBT.
Dengan prediksi jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia (2016) yang mencapai 630.000 dengan 49.000 infeksi baru per tahun (aidsdatahub.org), Â sudah saatnya kita membalik paradigma berpikir tentang IMS dan HIV/AIDS karena jika isu ini tetap dibalut dengan moral, maka yang muncul hanya kesadaran semu karena informasi HIV/AIDS hanya sebatas mitos (anggapan yang salah).
Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa yang perilaku seksnya berisiko, terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV pun jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, secara diam-diam karena mereka tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS. Maka, tinggal menunggu 'panen AIDS' .*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H