*Menggagas sanksi pidana penjara atau pidana sosial bagi pengejek korban kejahatan seksual
Disebutkan oleh Penggagas 'House of the Unsilenced', Eliza Vitri Handayani: .... masih banyak penyintas (korban kekerasan yang selamat) yang takut, bahkan malu, berbicara terkait kekerasan yang dialami. Sikap masyarakat yang cenderung menyalahkan perempuan pun menjadi salah satu penyebab (Korban Pelecehan, Penyintas Kekerasan Seksual Diajak Bersuara. Ini judul di Harian "Kompas", 19/8-2018).
Korban kekerasan seksual, termasuk pelecahan seksual, bahkan dalam ikatan pernikahan yang sah (marital rape), akan memilih diam karena di social settings mereka justrujadi korban kekerasan (sosial) yang jauh lebih dahsyat. Itu artinya korban-korban pelecahan seksual kekerasan seksual akan mengalami the second sexual violence (kekerasan seksual yang kedua).
Celakanya, kekerasan seksual dalam perkawinan tidak jadi perhatian banyak kalangan di Indonesia karena berbagai faktor, mulai dari tradisi sampai keyakinan.
Baca juga: Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Minus "Marital Rape"Â
Jangankan di masyarakat, di proses peradilan pun korban kekerasan seksual sudah mengalami kekerasan. Mulai dari pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan sampai di persidangan pengadilan. Bahkan, ada seorang calon hakim agung laki-laki ketika fit and proper test di DPR mengatakan bahwa pelaku dan korban perkosaan sama-sama menikmati. "Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati.Â
Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati." Ini jawaban calon hakim agung, Muhammad Daming Sanusi, menjawab pertanyaan anggota DPR tentang hukuman mati bagi pemerkosa pada fit and proper test hakim agung di Komisi III DPR, 14/1-2013 (Calon Hakim Agung: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Saling Menikmati, kompas.com, 14/1-2013).
Dulu santer pula terdengar sindiran bahkan ejekan terhadap korban pemerkosaan ketika diperiksa sebagai saksi korban di salah satu instansi: Diperkosa ni ye. Apakah Saudari goyang waktu diperkosa? Dst .... Belakangan instansi itu membantah.
Bahkan, dalam banyak berita perkosaan wartawan dan polisi justru jadi ‘pemerkosa kedua’ karena membeberkan kajadian secara telanjang.
Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan
Yang tidak masuk akal pelaku diberikan hak istimewa yaitu media massa dilarang menyebut identitas pelaku dan ketika di hadapan publik wajahnya ditutup. Sementara korban dibawa jaksa ke sidang pengadilan tanpa perlindungan privasi. Ada pula instansi dan institusi yang justru memberikan 'panggung' bagi pelaku kejahatan seksual untuk membela diri.
Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual
Yang lebih konyol adalah pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise, di DPR yang mengatakan orang tua Yy, gadis cilik berumur 14 tahun, korban perkosaan dan pembunuhan 14 begundal di Bengkulu (2016), bersalah sebabagi wujud dari krisis pengasuhan anak (nasional.tempo.co, 30/5-2016).Â
Orang tua Yy terpaksa ke ladang untuk cari makan, keamaman dan keselamatan warga, termasuk Yy, ada di tangan aparat pemerintahan daerah tsb.Â
Maka, ajakan Eliza justru bisa membuka luka lama dan menambah derita korban. Yang lebih konyol justru perempuan yang sering menyalahkan perempuan sebagai korban kekerasan seksual.Â
Dulu disebut-sebut karena cara berpakaian. Ketika muncul fakta bahwa korban kekerasan seksual, seperti perkosaan, justru perempuan yang menutup seluruh badan kecuali wajah ada jadi korban, eh, banyak pula yang mengatakan: Ya, karena pelaku kian tergoda .... Benar-benar di luar akal sehat.
Seperti yang dikatakan oleh Eliza ketika ada penyanyi dangdut dilecehkan pesepakbola: Â .... masih ada warganet yang berkomentar itu merupakan risiko dari profesi yang dijalani.
Komentar warganet itu benar-benar melawan hukum karena tidak ada UU yang membenarkan pelecehan seksual sampai kekerasan seksual terhadap perempuan dengan alasan pekerjaan tertentu dan cara berpakaian. Seorang perempuan hanya pakai bikini atau telanjang pun tidak ada UU yang membenarkan kekerasan seksual terhadap perempuan tsb.
Itulah sebabnya mengapa hanya Yogyakarta dan Bali yang jadi tujuan utama wisatawan mancanegara (Wisman) karena hanya di dua daerah itu ada 'hospitality' yang murni.
Baca juga: Pariwisata, Adakah "Hospitality" di Danau Toba dan DTW Lain Selain di Bali dan Yogyakarta?
Di daerah lain Wisman tanpa pakaian minim pun jadi sasaran pelecehan seksual. Mulai dari suitan sampai colekan, bahkan di Sumbar, Bali dan NTT ada Wisman yang diperkosa.
Baca juga: Menggapai 20 Juta Wisman yang Ditargetkan Jokowi
Untuk mendukung ajakan Eliza, sudah saatnya ada UU yang mengatur sanksi bagi yang melakukan the second sexual violence agar nyahok kata orang Betawi. Soalnya, kalau tidak ada sanksi hukum korban kekerasan seksual akan terus jadi korban di masyarakat dan di berbagai instansi dan institusi. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H