HIV/Aids Ditemukan di Semua Kecamatan di Sikka, Kenapa Aids Lebih Tinggi? Ini judul berita di kupang.tribunnews.com (10/8-2018).
Sejak tahun 2003 sampai Agustus 2018 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sikka, NTT, dilaporkan 705 yang terdiri atas 222 HIV dan 483 AIDS dengan 379 kematian.
Ada kesan penemuan kasus di semua kecamatan (27) di wilayah Kabupaten Sikka sebagai hal yang buruk (negatif). Ini salah besar karena setiap 1 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi itu artinya 1 mata rantai diputuskan sehingga penyebaran HIV/AIDS berhenti pada warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Itu artinya makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi kian banyak puna mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang diputus.
Selain itu yang dipersoalkan dalam berita adalah: mengapa jumlah kasus AIDS lebih tinggi daripada HIV.
Disebutkan oleh Pengelola Program KPA Sikka, Yuyun Baitanu: .... kondisi lingkungan masyarakat yang tidak kondusif berkontribusi besar. Bila si penderita yang sakit-sakitan diketahui mengindap HIV akan dikucilkan dari pergaulan.
Pertama, warga yang terdeksi pada masa AIDS adalah warga yang sudah terlebih dahulu tertular HIV karena masa AIDS secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Kedua, warga yang tertular HIV tidak otomatis menderita sehingga tidak tepat disebut penderita HIV/AIDS, tapi lebih tepat disebut pengidap HIV/AIDS.
Ketiga, pengucilan bukan faktor yang mendorong masa AIDS.
Maka, mengapa lebih banyak kasus AIDS yang terdeteksi daripada kasus HIV?
Warga yang tertular HIV tidak otomatis menderita serta tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan mereka sehingga tidak berurusan dengan sarana kesehatan.
Sebaliknya, warga yang tertular HIV ketika masuk masa AIDS ada yang sudah menunjukkan penyakit terkait dengan gejala-gejala AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. yang sulit sembuh. Kondisi ini membuat mereka berobat ke sarana kesehatan. Tenaga medis di sarana kesehatan pemerintah sudah dilatih menjalankan inisiatif mendeteksi (gejala) HIV/AIDS pada pasien dengan melakukan konseling (perilaku seksual) yang akan dirujuk tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku pasien berisiko tertular HIV [ini oleh WHO disebut provider-initiated counsellingand testing (PICT)].
Sedangkan warga yang sudah tertular HIV tidak menyadari karena tidak ada keluhan kesehatan yang terkait langsung dengan HIV/AIDS sebelum masa AIDS sehingga merka tidak terdeteksi.
Masih dikatakan oleh Yuyun: "Masih ada cap buruk yang kuat masyrakat terhadap penderitanya. Mereka baru mulai memeriksakan diri ketika kondisinya sudah akut dan menjadi Aids."
Lagi-lagi Yuyun menyebutkan 'penderita'. Sebaiknya kata ini tidak dipakai lagi dalam kosa-kata terkait HIV/AIDS karena hal ini justru mendorong stigma (cap buruk) dan dikriminasi (perlaku berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.
Warga yang datang berobat bukan karena infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS (dalam berita disebut 'menjadi AIDS'), tapi karena penyakit mereka sulit sembuh. AIDS bukan penyakit, tapi kondisi pengidap HIV/AIDS setelah tertular antara 5-15 tahun dengan gejala infeksi oportunistik.
Yang tidak muncul dalam berita adalah: apa faktor risiko (penyebab) infeksi (penularan) HIV/AIDS pada 705 warga Sikka?
Dalam berita sama sekali tidak ada informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Lalu, apa yang diharapkan Sekretaris KPAD Sikka, Yohanes Siga, dan Yuyun menyampaikan informasi itu kepada wartawan?
Dengan model berita yang hanya berkutat pada angka-angka (kasus), seperti berita ini, tidak ada informasi yang bisa jadi agent of change yaitu informasi yang bisa mendorong perubahan perilaku warga, dalam hal ini perilaku seksual, yang terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H