Itulah sebabnya para peneliti di QUT mengatakan survei mereka tidak berlaku umum. Hasil survei pada kelompok mahasiswi yang kebanyakan Kaukasia (ras kulit putih) itu bisa jadi berbeda dengan kelompok mahasiswi lain. Peneliti QUT berhartap ada studi yang lebih luas sehingga hasilnya lebih beragam dan bagaimana pula PCD pada laki-laki.
Studi pertama PCD pada laki-laki diterbitkan dalam Journal of Sex & Marital Therapy berupa hasil survei peneliti Ausatralia terhdap 1.200 laki-laki melalui kuesioner secara online. Hasilnya, 4 persen mengatakan mengalami PCD secara teratur.
Ada yang menganggap sedang atau sudah melakukan hubungan seksual yang dahsyat dengan suasana nyaman, santai dan tertidur pula. Sebagian lain ternyata merasa sangat tidak nyaman yang diliputi kesedihan bagaikan meringkuk dalam kurungan sampai menitikkan air mata.
Karena para ahli tidak bisa memastikan kesedihan dan ketidaknyamanan pasca seks, maka Kerner mengatakan PCD ada hubungannnya dengan hormon. "Khusus untuk wanita, seks dan orgasme dapat melepaskan hormon oxytocin (hormon alami yang diproduksi tubuh yang berguna untuk memicu atau memperkuat kontraksi pada otot rahim-pen.), yang memfasilitasi attachment dan koneksi," kata Kerner.
Ketika seseorang merasakan peningkatakn oksitosis pada hubungan seksual itu artinya menyadari komitmen untuk terus bersama dalam waktu yang panjang. Sebaliknya, ketika emosi hilang yang ditandai dengan kesedihan dan ketidaknyamaman setelah seks itu artinya Anda harus segera bericara atau konsultasi dengan dokter atau terapis seks. Jangan biarkan seks jadi beban (Sumber: health.com, marieclaire.co.uk, issm.info, psychcentral.com, dan sumber-sumber lain). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H