Paus Fransiskus Ubah Ajaran Gereja untuk Menentang Hukuman Mati. Ini judul berita di "VOA Indonesia (2/8-2018).
Tanggapan terhadap pernyataan Paus ini bukan dengan pijakan agama, tapi merupakan curahan pendapat pribadi sebagai umat manusia. Tidak pula ada unsur politis.
Di satu sisi ini tentu saja pernyataan Paus itu akan berhadapan langsung dengan ajaran agama dan sistem hukum negara yang membolehkan hukuman mati.
Sedangkan di sisi lain mengapa Paus tidak mengubah paradigma berpikir: ajaklah umat agar tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum dengan ancaman hukuman mati. Ini jauh lebih arif daripada langkah yang menimbulkan gesekan dan memunculkan pro dan kontra yang tidak akan ada habisnya.
Disebutkan dalam berita: " .... mengubah ajaran resmi gereja untuk mencerminkan pandangannya bahwa semua kehidupan adalah sakral dan tidak ada pembenaran untuk eksekusi oleh negara."
Tentu saja ada pertanyaan yang sangat mendasar untuk Paus: Bagaimana dengan seseorang yang merenggut nyawa orang lain melalui tindakan kriminal yang melawan hukum?
Pembunuh tentu sudah melakukan perbuatan yang merenggut kehidupan sakral orang lain. Bahkan, ada pembunuhan yang direncakan. Begitu juga dalam perang yang juga merenggut nyawa dengan senjata mesiu dan kimia. Ada lagi pembunuhan massal dengan berbagai dalih serta pembunuhan massal dengan latar belakang genosida.
Dengan pernyataan itu tentulah muncul pertanyaan: Apa tanggapan Paus terhadap pelaku pembunuhan dan pembunuhan dalam peperangan?
Di bagian lain disebutkan pula: " .... Paus Fransiskus telah menyetujui perubahan Katekismus Gereja Katolik, kompilasi ajaran Katolik resmi, sehingga menyatakan hukuman mati merupakan "serangan" atas martabat manusia."
Sejalan dengan hal di atas tentulah bisa pula ditarik analogi: pembunuhan juga merupakan serangan atas harkat dan martabat manusia. Sayang, Paus tidak menyoal perilaku setengah orang yang melakukan pembunuhan.
Disebutkan lagi: " .... Sistem penahanan dan sanksi-sanksi baru sudah berkembang sehingga tidak menutup kemungkinan bagi orang yang bersalah untuk bertobat."
Dalam berita tsb. sama sekali tidak ada pernyataan Paus terkait dengan perilaku kriminal yang melawan hukum yang juga merupakan kejahata terhadap harkat dan martabat manusia. Seperti yang dilakukan terorisme dengan bom bunuh diri yang melukai dan membunuh orang-orang yang sama sekali tidak terkait dengan organisasi mereka, perbuatan itu jelas menyerang harkat dan martabat manusia.
Dalam satu kesempatan kepada Teten Masduki, waktu itu aktivis antikorupsi, Gus Dur mengatakan agama tidak bisa dijadikan 'alat' untuk melawan korupsi karena orang-orang beragama tahu persis cara bertobat.
Nah, sejalah dengan ini sikap Paus yang menyebutkan 'orang bersalah untuk bertobat' tentulah tidak akan bsia mengerem perilaku kriminal. Menganiaya dan membunuh jadi tidak menakutkan (lagi) karena 'ancaman hukuman' hanya bertobat. Ini tidak harus dilakukan di balik jeruji besi sehingga pelaku kejahatan cukup jadi 'pasien' agamawan.
Di bagian lain disebutkan: Dalam hampir setiap perjalanan ke luar negeri, Sri Paus telah mengunjungi para tahanan untuk memberikan kata-kata solidaritas dan harapan, dan dia masih tetap berhubungan dengan sekelompok narapidana Argentina yang ia layani selama bertahun-tahun sebagai Uskup Agung Buenos Aires.
Adalah lebih arif kalau dalan setiap kunjungan Paus mengajak umat agar tidak melakukan perilaku yang menyerang harkat dan martabat manusia dan tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum daripada sekedar melongok narapidana. Soalnya, sudah ada program untuk merehabilitasi perilaku kriminal napi. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H