Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenangan Membaca Cerbung "Cintaku di Kampus Biru" di Yogyakarta

24 Juli 2018   04:30 Diperbarui: 24 Juli 2018   11:49 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tak terasa tahun ini (2018) sudah 44 tahun yang lalu kenangan membaca cerbung (cerita bersambung) di Harian "Kompas" (1974) di sebuah kamar kos di bilangan Lempuyangan, Yogyakarta. Ketika itu cerbungnya berjudul "Cintaku di Kampus Biru" buah karya Bang Hadi (Ashadi Siregar).

Ketika itu tidak ada penjual eceran koran "Kompas". Jumlah eksemplar koran itu pun, menurut agen koran sangat terbatas. Sejak kos di Yogya saya langganan "Kompas" melalui salah satu kios koran dan majalah di, dahulu disebut kawasan Shopping Center, sekarang jadi "Taman Pintar" di ujung selatan Jalan Malioboro tepatnya di belakang Benteng Vredeburg.

Pada awal-awal cerbung itu tidak ada teman yang 'nebeng' membaca. Tapi, beberapa hari kemudian mulai ada satu dua teman yang membaca di kamar kos. "Ini cerita bagus, Ful," kata seorang teman yang datang setelah pulang dari kampus, ketika itu di Jalan Ketandan Wetan, di belakang Pasar Bringharjo.

Memang, kisah yang diangkat Bang Hadi di cerbung itu menggambarkan suasana Yogya dengan nuansa akademis dan gambaran sebagai 'kota pelajar'. Cerita tentang dosen psikologi dengan latar belakang "Kampus Biru" sebagai padanan salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Gudeg.

Kian hari cerita semakin menarik dan selalu ingin membaca lanjutnya. Pemotongan cerita membuat penasaran tentang kisah salanjutnya. Itu artinya harus menunggu esok hari. Yang bikin gregetan adalah kisah pada terbitan hari Sabtu karena harus menunggu koran edisi hari Senin. Ketika itu "Kompas" belum terbit di hari Minggu.

"Ah, kau keterlaluan, Ful," kata seorang teman yang duduk di beranda depan kamar kosku.

Ada apa gerangan?

Rupanya, sejak pukul 10.00 dia sudah ada di depan kamar kos.

Ngapin?

Ya, apa lagi kalau bukan ingin membaca cerbung Bang Hadi. Koran rata-rata baru sampai pukul 11.00 ke kamar kos. Maklum, waktu itu koran dibawa ke Yogya dengan kapal terbang karena belum ada teknologi cetak jarak jauh.

Rupanya, yang antar koran tidak mau memberikan koran kepada teman tadi. Dipikir teman itu hal itu karena perintah saya ke tukang koran. Begitu sampai di kamar kos tukang antar koran memasukkan koran ke kamar melalui celah di bawah pintu. Maka, biar pun ada teman yang menunggu di kamar kos tukang koran itu ogah menyerahkan koran ke teman-teman tadi.

"Yang langganan, 'kan Mas ini," kata tukang koran sambil menunjuk saya ketika suatu hari saya tanya mengapa dia tidak mau memberikan koran ke teman yang menunggu di depan kamar kos. Biar pun sudah saya izinkan diberikan ke teman, tapi sampai cerbung itu selesai tukang koran tadi tetap taat asas: memasukkan koran ke kamar melalui celah di bawah pintu.

Setiap kali selesai membaca cerbung yang terasa justru 'haus' ingin membaca lanjutannya. Itulah yang terjadi setiap hari. Cerbung itu saya klipping, tapi entah kececer di mana. Setelah Penerbit Gramedia menerbitkan cerbung itu dalam bentuk novel masih tetap saya baca. Novel itu belanjut sehingga jadi 'trilogi' yaitu Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir.

Novel "Cintaku di Kampus Biru" diangkat ke layar lebar  (1976) yang dibintangi oleh Roy Marten, Rae Sita, dll. yang disutradarai Ami Prijono, tapi film itu tidak membuat suasana hati seperti ketika membaca cerbungnya di "Kompas".

***

Ketika itu saya tidak mengenal sosok Bang Hadi secara pribadi karena hanya sering melihat dia dan teman-temanya di malam hari di sebuah 'kedai kopi' di depan sebuah klenteng di perempatan Gondomanan, di depan kantor Harian "Bernas". Penjual kopi di sana orang Medan (Baca juga: Sekelumit Kenangan dengan Harian "Bernas" Yogyakarta).

Saya baru mengenal sosok Bnag Hadi secara pribadi ketika menjalani tes program pendidikan fungsional jurnalistik di LP3Y (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya), waktu itu di Jalan Pacar, Baciro, Yogyakarta. Saya mengetahui program itu dari berita kecil di Harian "Kompas" yang saya baca di Kota Padangsidimpuan, Sumut, tahun 1982. Ketika itu saya bekerja di sebuah harian yang terbit di Kota Medan.

Pendaftaran tidak bisa melalui surat harus langsung. Saya pun memilih berangkat ke Yogya dari Padangsidimpuan dengan bus "ALS" ke Jakarta yang selanjutnya naik bus lagi ke Yogya melalui terminal bayangan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Hasil tes menempatkan saya sebagai salah satu dari 20 peserta yang lolos. Syarat utama pendaftaran adalah mahasiswa DO (drop out). Pendidikan selama enam bulan gratis karena program itu didukung oleh The Asia Foundation. Setelah selesai pendidikan saya bekerja di Tabloid "Mutiara" tergabung dalam grup koran "Sinar Harapan" di Jakarta.

Selama enam bulan setiap hari selalu ada diskusi dengan Bang Hadi. Selain itu selalu saja ada mahasiswa, dosen dan aktivis yang datang ke LP3Y dengan berbagai keperluan. Lembaga ini juga melayani langganan klipping koran. Selama pendidikan pun tokoh-tokoh pers dan ilmuwan pun memberikan wawasan kepada peserta. Mulai dari Jacob Oetama (Kompas), Aristides Katoppo (Sinar Harapan), Agust Marpaung (Antara), Prof Dr Umar Khayyam, dll.

Tugas pertama yang saya terima ketika mengikuti pendidikan adalah mewawancarai Prof Dr Masri Singarimbun, sosiolog dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk bahan "Apa dan Siapa" yang diterbikan Majalah "TEMPO". Saya mengetik naskah di kantor perwakilan TEMPO Yogya yang dikomandoi oleh Saur Hutabarat.

Beberapa tahun kemudian ada berita di Harian "Kompas" tentang pelatihan penulisan berita HIV/AIDS yang berempati bagi wartawan yang diselenggarakan oleh LP3Y melalui Pusat Media AIDS yang didukung oleh The Ford Foundation. Saya pun diterima sebagai peserta angkatan kedua bersama 19 wartawan lain dari berbagai daerah. Antara lain dari NTT dan Papua.

Saya diundang jadi narasumber berbagai pengalaman dalam menulis berita HIV/AIDS. Setelah itu beberapa kali jadi fasilitator. Program itu pula yang mengirim saya ke Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP - International Congress on AIDS in Asia and the Pacific) ke-4 di Manila, Filipina, 1997, sebagai hadiah pemenang lomba penulisan AIDS dengan judul "Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula*" yang dibertikan di Tabloid "Mutiara" (Baca juga: Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula*)

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Melalui program AIDS itulah saya kenal dengan Dr Rosalia Sciortino, panggilan akrabnya Bu Lia, ketika di di kantor Ford Foundation Jakarta. Bu Lia memberikan grant untuk saya yang menelurkan buku "Pers Meliput AIDS" diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000.

Buku itu adalah analisis isi berita-berita HIV/AIDS yang diterbitkan media cetak nasional pada kurun waktu 1981-2000. Dari hasil itu saya membulatkan hati akan terus mengamati berita HIV/AIDS dan menuliskan tanggapan terhadap berita-berita AIDS.

Itulah yang saya lakukan sekarang dan seterusnya karena biar pun epidemi HIV/AIDS sudah hampir 40 tahun tetap saja ada berita yang dibalut dengan moral dan agama sehingga hanya menghasilkan mitos (anggapan yang salah) sehingga jadi misleading (menyesatkan) yang akhirnya tidak memberikan fakta kepada pembaca (baca: masyarakat) tentang cara-cara penulsan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat. *

*Jakal Km 6.6, Yogyakarta, 24/7-2018 ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun