"Yang langganan, 'kan Mas ini," kata tukang koran sambil menunjuk saya ketika suatu hari saya tanya mengapa dia tidak mau memberikan koran ke teman yang menunggu di depan kamar kos. Biar pun sudah saya izinkan diberikan ke teman, tapi sampai cerbung itu selesai tukang koran tadi tetap taat asas: memasukkan koran ke kamar melalui celah di bawah pintu.
Setiap kali selesai membaca cerbung yang terasa justru 'haus' ingin membaca lanjutannya. Itulah yang terjadi setiap hari. Cerbung itu saya klipping, tapi entah kececer di mana. Setelah Penerbit Gramedia menerbitkan cerbung itu dalam bentuk novel masih tetap saya baca. Novel itu belanjut sehingga jadi 'trilogi' yaitu Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir.
Novel "Cintaku di Kampus Biru" diangkat ke layar lebar  (1976) yang dibintangi oleh Roy Marten, Rae Sita, dll. yang disutradarai Ami Prijono, tapi film itu tidak membuat suasana hati seperti ketika membaca cerbungnya di "Kompas".
***
Ketika itu saya tidak mengenal sosok Bang Hadi secara pribadi karena hanya sering melihat dia dan teman-temanya di malam hari di sebuah 'kedai kopi' di depan sebuah klenteng di perempatan Gondomanan, di depan kantor Harian "Bernas". Penjual kopi di sana orang Medan (Baca juga: Sekelumit Kenangan dengan Harian "Bernas" Yogyakarta).
Saya baru mengenal sosok Bnag Hadi secara pribadi ketika menjalani tes program pendidikan fungsional jurnalistik di LP3Y (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya), waktu itu di Jalan Pacar, Baciro, Yogyakarta. Saya mengetahui program itu dari berita kecil di Harian "Kompas" yang saya baca di Kota Padangsidimpuan, Sumut, tahun 1982. Ketika itu saya bekerja di sebuah harian yang terbit di Kota Medan.
Pendaftaran tidak bisa melalui surat harus langsung. Saya pun memilih berangkat ke Yogya dari Padangsidimpuan dengan bus "ALS" ke Jakarta yang selanjutnya naik bus lagi ke Yogya melalui terminal bayangan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Hasil tes menempatkan saya sebagai salah satu dari 20 peserta yang lolos. Syarat utama pendaftaran adalah mahasiswa DO (drop out). Pendidikan selama enam bulan gratis karena program itu didukung oleh The Asia Foundation. Setelah selesai pendidikan saya bekerja di Tabloid "Mutiara" tergabung dalam grup koran "Sinar Harapan" di Jakarta.
Selama enam bulan setiap hari selalu ada diskusi dengan Bang Hadi. Selain itu selalu saja ada mahasiswa, dosen dan aktivis yang datang ke LP3Y dengan berbagai keperluan. Lembaga ini juga melayani langganan klipping koran. Selama pendidikan pun tokoh-tokoh pers dan ilmuwan pun memberikan wawasan kepada peserta. Mulai dari Jacob Oetama (Kompas), Aristides Katoppo (Sinar Harapan), Agust Marpaung (Antara), Prof Dr Umar Khayyam, dll.
Tugas pertama yang saya terima ketika mengikuti pendidikan adalah mewawancarai Prof Dr Masri Singarimbun, sosiolog dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk bahan "Apa dan Siapa" yang diterbikan Majalah "TEMPO". Saya mengetik naskah di kantor perwakilan TEMPO Yogya yang dikomandoi oleh Saur Hutabarat.
Beberapa tahun kemudian ada berita di Harian "Kompas" tentang pelatihan penulisan berita HIV/AIDS yang berempati bagi wartawan yang diselenggarakan oleh LP3Y melalui Pusat Media AIDS yang didukung oleh The Ford Foundation. Saya pun diterima sebagai peserta angkatan kedua bersama 19 wartawan lain dari berbagai daerah. Antara lain dari NTT dan Papua.