Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Saya Koruptor yang Menjalani Pidana Sosial"

23 Juli 2018   18:25 Diperbarui: 23 Juli 2018   19:02 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Pidana Sosial Adalah Hukuman yang Pantas untuk Koruptor

Ternyata gaung lagu "Hidup Di Bui" yang didendangkan band D' Lloyd di tahun 1970-an ternyata tidak membuat banyak orang takut dimasukkan ke balik jeruji besi, dulu disebut penjara kemudian diperhalus jadi lembaga pemasyarakatan (Lapas). Padahal, pantun lagu itu  bercerita tentang derita hidup di Lapas.

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Maklum, dari hasil OTT (Operasi Tangkap Tangan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat (20-21 Juli 2018) ternyata hidup di bui bisa bagaikan di hotel bintang lima [Baca juga: Narapidana (yang) Tetap Jalankan Perilaku Koruptif dan Kriminal di Lapas].

Tentu saja fasilitas itu tidak gratis tapi dibeli dengan harga antara Rp 200 -- Rp 500 juta. Cuma, untuk narapidana (napi) kelas teri tentulah fasilitas itu tidak bisa diperoleh. Itu artinya terjadi diskriminasi.

OTT terus terjadi dengan tangkapan kelas kakap di lingkungan instansi pemerintah, seperti gubernur, bupati, dan walikota serta dari kalangan anggota parlemen di DPRD dan DPR. Gebrakan dan gerakan KPK bagaikan 'anjing menggonggong kafilah berlalu'.

Sedikit pun tidak ada yang takut dicokok KPK. Bahkan, Kalapas Sukamiskin yang ditangkap KPK malah ketawa-ketiwi ketika diperiksa di Gedung KPK di Jakarta. Ini dikatakan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kompas.com, 22/7-2018).

Perilaku Kalapas itu merupakan penghinaan terhadap proses hukum dan ejekan untuk rakyat Indonesia. Semoga jaksa dan hakim menjadikan perilaku ybs. sebagai hal yang memberatkan dalam tuntutan dan vonis kelak.

Melihat tren suap dan korupsi yang tidak surut biar pun ada ancaman penjara belasan tahun, ada baiknya paradigma hukum kita balik. Pidana tidak lagi di penjara, tapi pidana sosial yang bisa disaksikan rakyat sehingga ada pengawasan melekat.

Karena ancaman penjara tidak mempunyai efek jera, maka perlu digalang kekuatan sosial untuk mendesak pemerintah dan DPR agar membuat UU Antikorupsi dengan ancaman pidana kerja sosial.

Kerja sosial bisa diawasi langsung oleh rakyat karena mereka memakai pakaian khusus dengan tulisan: "Saya Koruptor yang Menjalani Pidana Sosial".

Kerja sosial mulai dari menyapu jalan raya, membersihkan toilet di fasilitas umum dan rumah ibadah, memotong rumput di lingkungan kantor pemerintah, dll.

Jangka waktu kerja sosial diputuskan oleh hakim dengan mempertimbangkan pengembalian kerugian negara. Jika yang berhasil disita sedikit, maka pidana kerja sosial pun lama.

Persoalan besar yang kita hadapi adalah: Apakah pemerintah, teruama DPR, punya nyali merancang dan menyahkan UU Antikorupsi dengan hukuman pidana sosial? *

*Jakal Km 6,6, Yogyakarta, 23/7-2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun