*Pidana Sosial Adalah Hukuman yang Pantas untuk Koruptor
Ternyata gaung lagu "Hidup Di Bui" yang didendangkan band D' Lloyd di tahun 1970-an ternyata tidak membuat banyak orang takut dimasukkan ke balik jeruji besi, dulu disebut penjara kemudian diperhalus jadi lembaga pemasyarakatan (Lapas). Padahal, pantun lagu itu  bercerita tentang derita hidup di Lapas.
Tentu saja fasilitas itu tidak gratis tapi dibeli dengan harga antara Rp 200 -- Rp 500 juta. Cuma, untuk narapidana (napi) kelas teri tentulah fasilitas itu tidak bisa diperoleh. Itu artinya terjadi diskriminasi.
OTT terus terjadi dengan tangkapan kelas kakap di lingkungan instansi pemerintah, seperti gubernur, bupati, dan walikota serta dari kalangan anggota parlemen di DPRD dan DPR. Gebrakan dan gerakan KPK bagaikan 'anjing menggonggong kafilah berlalu'.
Sedikit pun tidak ada yang takut dicokok KPK. Bahkan, Kalapas Sukamiskin yang ditangkap KPK malah ketawa-ketiwi ketika diperiksa di Gedung KPK di Jakarta. Ini dikatakan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kompas.com, 22/7-2018).
Perilaku Kalapas itu merupakan penghinaan terhadap proses hukum dan ejekan untuk rakyat Indonesia. Semoga jaksa dan hakim menjadikan perilaku ybs. sebagai hal yang memberatkan dalam tuntutan dan vonis kelak.
Melihat tren suap dan korupsi yang tidak surut biar pun ada ancaman penjara belasan tahun, ada baiknya paradigma hukum kita balik. Pidana tidak lagi di penjara, tapi pidana sosial yang bisa disaksikan rakyat sehingga ada pengawasan melekat.
Karena ancaman penjara tidak mempunyai efek jera, maka perlu digalang kekuatan sosial untuk mendesak pemerintah dan DPR agar membuat UU Antikorupsi dengan ancaman pidana kerja sosial.
Kerja sosial bisa diawasi langsung oleh rakyat karena mereka memakai pakaian khusus dengan tulisan: "Saya Koruptor yang Menjalani Pidana Sosial".
Kerja sosial mulai dari menyapu jalan raya, membersihkan toilet di fasilitas umum dan rumah ibadah, memotong rumput di lingkungan kantor pemerintah, dll.