Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, mengungkapkan kekecewaan pada konferensi pers (21/7-2018) terkait dengan OTT (operasi tangkap tangan) yang dilakukan KPK di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Sukamiskin, Bandung, Jawsa Barat (20 dan 21 Juli 2018), yang melibatkan Kalapas, WH, staf dan napi koruptor serta napi umum.
Soalnya, setelah menyelidiki suasana di Lapas Sukamiskin sejak April 2018 berdasarkan laporan masyarakat, menurut Laode, pihaknya menemukan penyimpangan dengan penyalahgunaan wewenang di lapas tersebut. Itu artinya terjadi jual beli fasilitas dan bermuara pada diskriminasi terhadap napi di lapas.
Penyelidikan KPK berakhir dengan OTT. Dari video yang ditampilkan pada konferensi pers tampak jelas fasilitas sel napi yang tidak sesuai standar baku Lapas karena di sana ada pendingin udara (AC), dispenser, kulkas, alat-alat komunikasi, dll. Ini jelas merupakan perbutan melawan hukum dan perlakuan diskriminatif yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Penyelidikan KPK menunjukkan harga kamar mewah di Lapas Sukamiskin antara Rp 200 - Rp 500 juta untuk mendapatkan fasilitas mewah di lapas. KPK menetapkan empat tersangka  dari enam orang yang ditangkap saat OTT yaitu FD, AR, WH dan HND. Mereka ditahan untuk 20 hari ke depan (kompas.com, 22/7-2018). KPK juga menyita dua mobil di rumah WH. KPK menemukan dokumen terkait dengan dua mobil tsb. di sel salah satu napi.
Yang tidak masuk akal adalah ada dua napi koruptor, mantan Bupati Bangkalan, Madura, Jatim, Fuad Amin, dan suami Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, yang tidak ada di dalam sel ketika OTT (cnnindonesia, 21/7-2018). Ini jelas merupakan bagian dari penyalangunaan wewenang pimpinan lapas. KPK pun menyegel dua sel tsb.
Dokter, tenaga medis dan rumah sakit diingatkan oleh Laode agar tetap menjunjung tinggi komitmen profesi agar tidak terjerat hukum seperti yang dialami oleh dr Bimanesh Sutarjo, RS Medika Permata Hijau, Jakarta Barat, yang divonis Pangadilan Tipikor Jakarta dengan hukuman 3 tahun penjara kanrena terbukti ikut menghalang-halangi penyidikan KPK terhadap tersangkan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto (kompas.com, 16/7-2018).
Jika FA dan TCW keluar sel dengan alasan rawat inap di rumah sakit, maka KPK pun didorong juga memeriksa kesehatan FA dan TCW apakan ada alasan untuk rawat inap dengan melibatkan dokter KPK dan IDI. Langkah ini perlu agar tenaga medis dan rumah sakit tidak jadi bagian dari pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dalam kasus Lapas Sukamiskin sebagai contoh napi koruptor dan kriminal tetap bisa menjalankan perilaku koruptif dan kriminal dengan menyuap pegawai lapas untuk mendapatkan fasilitas mewah di sel, izin keluar dengan alasan berobat dan rawat inap, serta jika ada dapat fasilitas kamar untuk seks.
Bagaimana dengan tahanan dan napi yang tidak mempunyai istri? Apakah mereka boleh membawa perempuan, misalnya, pekerja seks komersial (PSK), ke rutan atau lapas? Jika hal ini terjadi itu bisa mendorong rutan dan lapas bak 'rumah bordir' [Baca juga: Bilik Asmara Mendorong (Praktik) Pelacuran di Lapas dan Rutan].
Pemberian remisi berdasarkan perilaku napi di lapas dilihat oleh seorang kriminolog, Syarifah Sabaroeddin, tidak objektf karena napi akan merekayasa perilakunya selama di lapas agar memperoleh remisi (ini wawancara tahun 1980-an di Jakarta untuk laporan di Tabloid "MUTIARA"). Syarifah menunjuk residivis sebagai bagian dari rekayasa perilaku napi selama di lapas.
Dengan demikian perlu ada hukuman tambahan bagi residivis dan napi yang menyuap pegawai lapas untuk memperoleh fasilitas yang melebihi standar sel di lapas. Hukuman untuk tenaga medis dan rumah sakit yang ternyata melawan hukum juga ditambah dengan pemberatan karena memberikan peluang bagi napi untuk melakukan perbuatna yang melawan hukum. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H