Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Langkah (yang) Konkret Mencegah Kekerdilan

18 Juli 2018   11:11 Diperbarui: 18 Juli 2018   11:19 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: en.netralnews.com)

Edukasi kesehatan, kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerdilan (stunting) disebut oleh Menkes Nila F Moeloek dimulai dari hulu yaitu di SMA/SMK (antaranews.com, 17/7-2018). Persoalannya kemudian adalah tingkat pengetahuan tentang kesehatan dan kemiskinan serta kendali suami dalam perkawinan.

Data Kementerian Kesehatan RI menunukkan sekitar 37 persen atau 9 juta anak balita Indonesia mengalami kekerdilan (antaranews.com, 5/7-2018).

Jika bertolak dari pernyataan Menkes itu, maka edukasi dan sosialisasi dilakukan bagi pelajar atau siswa/siswi di tingkat SMA/SMK.

Masalah besar yang dihadapi adalah, apakah edukasi dan sosialisasi bagi siswa/siswi SMA/SMK menyeluruh di seluruh Nusantara?

Jika tidak, maka itu artinya risiko anak lahir dengan kekerdilan tetap besar. Kondisi ini kian runyam karena angka tingkat partisipasi perempuan di dunia pendidikan di bawah laki-laki. Maka, jumlah anak perempuan yang menerima sosialisasi dan edukasi tambah sedikit lagi. Lebih runyam lagi karena ada pula angka putus sekolah pada SMP anak perempuan.

Tidak jelas apakah langkah Kemenkes itu juga menyentuh aliyah karena sekolah ini di bawah Kementerian Agama.

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Anak-anak perempuan yang tidak bersekolah ditambah dengan yang putus sekolah di SMP pada waktinya akan menikah. Pada masa kehamilan ada faktor yang mempengaruhi yaitu suami, kemiskinan dan pengetahuan tentang kesehatan secara umum, khususnya tentang risiko anak lahir dengan kekerdilan (Lihat Gambar 1).

Kemiskinan yang dijadikan alasan tidak sepenuhnya benar karena rata-rata suami merokok. Setiap hari bisa dua sampai tiga bungkus dengan harga Rp 12.000/bungkus sehingga ada uang terbuang Rp 36.000 setiap hari. Uang sebesar ini tentulah bisa untuk membeli makanan yang mengandung karbohidrat, vitamin, dll.

Celakanya, masyarakat tidak sepenuhnya memahami gizi. Terminologi 'kurang gizi' seakan-akan gizi itu adalah makanan sehingga bisa dibeli (Baca juga: "Kurang Gizi" Itu Terminologi yang Tidak Merakyat).

Seorang peneliti di salah satau perguruan tinggi negeri di Jakarta memaparkan fakta yang membuat kepala bergeleng-geleng. Di salah satu provinsi di Pulau Jawa warga memelihara ayam. Mereka bukan memasak telur sebagai lauk, tapi telur dibawa ke pasar untuk dijual. Hasil penjualan dipakai membeli ikan asin. Maka, angka pengidap darah tinggi pun besar di provinsi itu.

Dalam kaitan itulah perlu rekayasa sosial untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan. Persoalannya adalah sejak Orde Baru banyak kata yang dipolitisir, termasuk rekayasa, sehingga lain maknanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun