Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penanggulangan HIV/AIDS, Strategi Moralistis Bermuara pada "Ledakan AIDS"

25 Juni 2018   05:42 Diperbarui: 25 Juni 2018   07:26 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beda Persepsi, Penyebab Kasus HIV/AIDS Sulit Ditekan. Ini judul berita di balipost.com (23/6-2018). Sayang, dalam berita tidak jelas persepsi soal apa yang berbeda. Soalnya, cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS di seluruh dunia sama. Strategi boleh berbeda tapi tetap harus mengacu ke cara-cara yang realistis bukan moralistis.

Disebutkan dalam berita: Permasalahan yang dihadapi justru masih belum adanya persepsi yang sama di tingkat SKPD. Antara dinas kesehatan, instansi penegakan hukum, LSM, masyarakat adat belum memiliki persepsi sama dalam penanganan kasus HIV/AIDS. Sehingga dalam pengambilan keputusan pun tidak mendapat restu dari semua stakeholder.

Apa pun strategi atau persepsi yang ada di instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) yang jelas penanggulangan epidemi HIV/AIDS harus berpijak pada fakta medis yaitu cara-cara pencegehan yang konkret.

Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, tulisan ini menitikberatkan pembahasan pada faktor risiko hubungan seksual. Seperti dikatakan oleh aktivis HIV/AIDS di Bali, Surya Anaya, penyebab nomor satu adalah perilaku seksual berganti-ganti pasangan lawan jenis (heteroseksual), penggunaan jarum suntik, dll.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, juga menunjukkan faktor risiko (cara penularan) HIV dari tahun 1987- Maret 2017 paling banyak melalui hubungan seksual, yaitu: heteroseksual 67,8 persen, homoseksual 4,23 persen dan biseksual 0,58 persen.

Yang dijadikan patokan adalah kasus AIDS karena kasus HIV ada hasil tes HIV yang tidak dikonfirmasi (standar WHO semua hasil tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain). Sedangkan pada kasus AIDS sudah jelas ybs. tertular HIV).

Jika ada persepsi yang tidak sama antar instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama), maka persoalan di bawa ke ranah realitas sosial tentang perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Langkah dan strategi instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) adalah upaya untuk menangkal insiden infeksi HIV baru melalui perilaku-perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV.

Perilaku-perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:

(1) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. ada yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko laki-laki tertular HIV/AIDS.  Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?

(2) Perempuan heteroseksual (secara seksual tertarik kepada laki-laki)  yang melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada perempuan ini?

(3) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang  melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?

(4) Perempuan heteroseksual (secara seksual tertarik kepada laki-laki) yang melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada perempuan ini?

(5) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang  melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK), kaena bisa saja ada di antara PSK itu yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini melalui hubungan seksual dengan PSK langsung?

Ada. Caranya adalah dengan melakukan intervensi terhadap laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Cara ini, dikenal sebagai program 'wajib kondom 100 persen', tapi praktek PSK harus dilokalisir. Program ini sudah dijalankan Thailand dengan hasil penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa.

Ini perbandingan kasus HIV/AIDS (2016) di Indonesia dengan Thailand (setelah menerapkan program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung). Indonesia: estimasi jumlah kasus kumulatif 620.000, infeksi HIV baru 48.000, cakupan obat ARV 13 persen, kematian terkait AIDS 38.000. Thailand: estimasi jumlah kasus kumulatif  450.000, infeksi HIV baru 6.400, cakupan obat ARV 69 persen, kematian terkait AIDS 16.000 (adisdatahub.org).

Celakanya, program tsb. tidak bisa dijalankan di Indonesia karena transaksi yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi dengan regulasi.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, 'artis', 'spg', cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.  Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?

(6) Laki-laki biseksual (tertarik secara seksual kepada perempuan dan laki-laki) yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dan perempuan yang berganti-ganti, disebut LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki), karena bisa saja salah satu dari di antara mereka mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?

(7) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang melakukan seks anal dan seks oral dengan waria yang berganti-ganti karena bisa saja salah di antara waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?

Nah, seperti apa pun perbedaan persepsi antara instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) yang jelas strategi harus menyasar poin-poin di atas. Prof Dr dr Dewa N. Wirawan, misalnya, sudah menjankan program 'jemput bola' yaitu membawa PSK langsung dari salah satu lokasi pelacuran di Denpasar untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan mengikuti pelatihan untuk 'memaksa' laki-laki memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.

Celakanya, Prof Wirawan dihujat wartawan (Baca juga: 'Menjemput' PSK di Denpasar, Bali). Lebih celaka lagi lokasi pelacuran sudah dibongkar sehingga praktek PSK langsung pun tidak bisa lagi dijangkau. Itu artinya penyebaran IMS dan HIV/AIDS terjadi melalui laki-laki pelanggan PSK ke masyarakat melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Maka, penyebaran HIV/AIDS di masyarakat di Denpasar khususnya dan di Indonesia umumnya akan terus terjadi terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada ledakan AIDS. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun