Kepada Kantor Berita AS Associated Press, seperti dikutip Harian The New York Times (20/6-2018), Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan "Peralatan Angkatan Laut (TNI AL) kami yang dapat mencapai hingga kedalaman 600 meter akan dapat menentukan lokasi yang tepat dari kapal."
Lebih lanjut Tjahjanto mengatakan, "Ketika kami dapat menentukan di mana kapal itu berada, kami akan menentukan teknik bagaimana cara mengambil korban."
Itu tentang bangkai "KM Sinar Bangun" yang tenggelam di perairan Danau Toba antara Pelabuhan Simanindo (Samosir) dan Pelabuhan Tigaras (Simalungun) pada Senin (18/6-2018). Karena tidak ada manifes kapal dan tidak ada pula catatan di Syahbandar Simanindo, jumlah korban yang belum ditemukan diolah polisi dari laporan pengaduan keluarga korban. Diperkirakan ada sekitar 200 lagi penumpang kapal nahas itu yang belum ditemukan.
Memang, alat itulah yang diandalkan karena kalau hanya mengandalkan penyelam tentulah kemampuannya sangat terbatas. Jarak pandamg di dalam air dengan scuba diving hanya berkisar antara 8-20 meter. Ini pun tergantung kejernihan air. Sedangkan kedalaman yang bisa dicapai dengan scuba diving antara 30-60 meter. Penyelam profesional dengan memakai pakaian atmosfer penyelam bisa mencapai kedalaman 610 meter.
Sedangkan lokasi tempat tenggelam KM Sinar Bangun diperkirakan lebih dari 600 meter dari permukaan air Danau Toba. Danau ini adalah kaldera gunung berapi kuno yang berada 900 meter di atas permukaan laut.
Harapan Marsekal Tjahjanto sangat realistis dan penuh optimistis. Namun, ada "orang pintar" di Banten yang mengatakan bahwa kapal itu tenggelam ke dasar danau pada kedalaman 680 meter.
Celakanya, menurut "orang pintar" itu, pada tempat kapal menyentuh dasar danau, ada lubang dengan kedalaman 150 meter. Bangkai "KM Sinar Bangun" masuk ke lubang tersebut dan tersangkut di dinding lubang.
Danau Toba sendiri secara geologis adalah kawah gunung berapi raksasa. Bisa jadi lubang yang dimaksud adalah bagian-bagian kawah yang jadi jalan lahar ketika gunung aktif. Ahli geologi tentu bisa menjelaskan perihal lubang yang ada di dasar danau.
Kecelakaan kapal di perairan Dana Toba sudah beberapa kali terjadi sejak tahun 1968 (Baca juga: Danau Toba Bisa Jadi "Kuburan" Kapal). Sedangkan kebiasaan pemilik kapal dan penumpang yang tidak mengindahkan keselamatan pelayaran erat kaitannya dengan "budaya" (Baca juga: Kapal Tenggelam di Danau Toba, Fenomena "Budaya Darat" vs "Budaya Air).
Kalau saja Panglima Tjahjanto sejak kapal tenggelam langsung memerintahkan agar peralatan TNI AL itu dibawa ke Danau Toba tentulah akan lebih efektif daripada hanya mengandalkan penyelam yang sangat tergantung pada cuaca dan kejernihan air danau.
Yang disayangkan adalah banyak yang selalu mengait-ngaitkan kecelakaan kapal di Danau Toba dengan mitos (keyakinan atau gagasan yang dipegang luas namun salah). Dalam beberapa kecelakaan di perairan danau itu ternyata ada masalah teknis dan kelalaian manusaia (human error). Misalnya, kondisi kapal, keahlian awak kapal, pelampung yang tdak cukup, kelebihan muatan, tidak memperhitungkan cuaca, dll.