Pemprov Gorontalo sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Gorontalo. Seperti juga puluhan perda sejenis di Indonesia pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan tidak aplikatif sehingga tidak bisa diandalkan dalam menanggulangi penyebaran HIV.
Praktek Pelacuran
Di Pasal 5 ayat 1 huruf b disebutkan: Pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain yang meliputi Program Pemakaian Kondom 100% pada setiap hubungan seks yang berisiko.
Tidak jelas di mana terjadi hubungan seks yang berisiko di Gorontalo. Program tsb. adalah program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand (Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand). Program tsb. bisa berjalan kalau transaksi seks yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisir yang disebut PSK langsung (PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan). Sedangkan di Gorontalo dan di seluruh Nusantara tidak ada lagi lokalisasi pelacuran. Maka, pasal 5 ayat 1 huruf b jelas tidak bisa diterapkan di Gorontalo.
Perda AIDS Gorontalo mengabaikan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Mungkin ini terjadi karena secara de jure tidak ada praktek pelacuran di Gorontalo. Ini didukung oleh Perda No 10 Tahun 2003 tanggal 21 November 2003 tentang Pencegahan Maksiat (Baca juga: Perkosaan di Perda Pencegahan Maksiat Provinsi Gorontalo).
Tapi, secara de facto apakah Pemprov Gorontalo bisa menjamin bahwa di Gorontalo tidak ada transaski seks dalam bentuk praktek pelacuran?
Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus, bahkan memakai alat komunikasi canggih, seperti ponsel, dan media sosial. Ini melibatkan pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung yakni PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Itu artinya ada insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang 'membeli seks' kepada PSK tidak langsung. Ini jelas tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi di alam maya dan praktek seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Disebutkan: Tingginya pengidap HIV/AIDS di daerah membuat KPA harus bekerja keras untuk melakukan konseling dan pendampingan kepada para pengidap.
Konseling dan pendampingan kepada pengidap HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, warga dibiarkan dulu tertular HIV baru ditangani. Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki, melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Selain itu perlu juga membuat regulasi agar suami perempuan hamil menjalani konseling HIV/AIDS yang dilanjutkan dengan tes HIV jika perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV. Kalau hasilnya positif, istri menjalani tes HIV pula. Program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya diterpakan kepada perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/ADS.