"Langkah pencegahan di antaranya dengan tidak bergonta ganti pasangan, tidak mengonsumsi narkoba serta menggunakan alat kesehatan yang bersih dan steril." Ini ada dalam berita KPA: Jumlah Penderita HIV/Aids 363 Orang (gorontalo.antaranews.com, 5/3-2018).
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Provinsi Gorontalo dari tahun 2001 sampai 2017 dilaporkan  363 yang terdiri atas 161 HIV dan 202 AIDS. Yang perlu diingat adalah angka ini hanya bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu: jumlah kasus yang terdeteksi  (363) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Faktor Risiko
Berganti-ganti pasangan, di dalam dan di luar nikah, adalah perilaku berisiko tinggi tertular HIV jika hubungan seksual dilakukan tanpa memakai kondom. Sedangkan penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) karena salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).
Maka, mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual adalah tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS.
Masalahnya adalah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisik karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik pengidap HIV/AIDS. Itulah sebabnya jika melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya dianjurkan agar hubungan seksual tidak dilakukan atau dilakukan dengan kondisi laki-laki memakai kondom.
Risiko penularan HIV terkait narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) bisa terjadi pada kondisi tertentu. Yaitu narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran memakai jarum suntik. Soalnya, bisa jadi salah satu di antara mereka mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang mengandung HIV masuk ke dalam jarum suntik dan selanjutnya disuntikkan ke yang lain.
Dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko atau cara penularan HIV pada 363 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Tidak ada informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Berita ini hanya berkutat pada pekerjaan pengidap HIV/AIDS yang tidak bermakna untuk penanggulangan karena tidak ada kaitan langsung antara pekerjaan dengan penularan HIV.
Disebutkan ada 30 ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS. Â Apakah suami 30 ibu rumah tangga tsb. sudah menjalani tes HIV?
Kalau belum, maka ada 30 laki-laki di Gorontalo yang jadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Jika 30 ibu rumah tangga itu tidak mengikuti program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, maka ada risiko 30 bayi lahir dengan HIV/AIDS.
Dari 363 kasus HIV/AIDS tsb. 86 tidak diketahui pekerjaannya, 85 wiraswasta dan 32 mahasiswa. Dengan jumlah kasus 32 mahasiswa ada di urutan ketiga. Tapi, lagi-lagi tidak disebutkan faktor risiko atau cara penularan sehingga tidak jelas mengapa dan bagaimana mahasiswa itu tertular HIV.
Pemprov Gorontalo sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Gorontalo. Seperti juga puluhan perda sejenis di Indonesia pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan tidak aplikatif sehingga tidak bisa diandalkan dalam menanggulangi penyebaran HIV.
Praktek Pelacuran
Di Pasal 5 ayat 1 huruf b disebutkan: Pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain yang meliputi Program Pemakaian Kondom 100% pada setiap hubungan seks yang berisiko.
Tidak jelas di mana terjadi hubungan seks yang berisiko di Gorontalo. Program tsb. adalah program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand (Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand). Program tsb. bisa berjalan kalau transaksi seks yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisir yang disebut PSK langsung (PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan). Sedangkan di Gorontalo dan di seluruh Nusantara tidak ada lagi lokalisasi pelacuran. Maka, pasal 5 ayat 1 huruf b jelas tidak bisa diterapkan di Gorontalo.
Perda AIDS Gorontalo mengabaikan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Mungkin ini terjadi karena secara de jure tidak ada praktek pelacuran di Gorontalo. Ini didukung oleh Perda No 10 Tahun 2003 tanggal 21 November 2003 tentang Pencegahan Maksiat (Baca juga: Perkosaan di Perda Pencegahan Maksiat Provinsi Gorontalo).
Tapi, secara de facto apakah Pemprov Gorontalo bisa menjamin bahwa di Gorontalo tidak ada transaski seks dalam bentuk praktek pelacuran?
Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus, bahkan memakai alat komunikasi canggih, seperti ponsel, dan media sosial. Ini melibatkan pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung yakni PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Itu artinya ada insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang 'membeli seks' kepada PSK tidak langsung. Ini jelas tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi di alam maya dan praktek seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Disebutkan: Tingginya pengidap HIV/AIDS di daerah membuat KPA harus bekerja keras untuk melakukan konseling dan pendampingan kepada para pengidap.
Konseling dan pendampingan kepada pengidap HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, warga dibiarkan dulu tertular HIV baru ditangani. Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki, melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Selain itu perlu juga membuat regulasi agar suami perempuan hamil menjalani konseling HIV/AIDS yang dilanjutkan dengan tes HIV jika perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV. Kalau hasilnya positif, istri menjalani tes HIV pula. Program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya diterpakan kepada perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/ADS.
Tanpa program yang jelas insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa yang selanjutnya mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran HIV/AIDS terjadi tanpa disadari sehingga merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H