Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tekan Kasus HIV/AIDS pada Anak dengan Sosialisasi Bahaya AIDS ke Panti Asuhan?

10 Juni 2018   22:18 Diperbarui: 11 Juni 2018   08:59 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: parenting.firstcry.com)

Kementerian PPPA terus berupaya untuk menekan angka kasus HIV/AIDS pada usia anak. Ini dikatakan oleh Valentina Ginting, Asisten Deputi Perlindungan Anak Dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Kementerian PPPA dalam berita Kasus Semakin Tinggi, Begini Upaya KPPPA dalam Menekan Angka HIV/AIDS pada Anak (lifestyle.okezone.com, 8/6-2018).

Yang jadi pertanyaan adalah: kasus HIV/AIDS pada anak usia berapa?

Kasus HIV/AIDS pada anak usia < 1 tahun dan 1 -- 4 tahun terjadi karena penularan vertikal dari  ibu yang mengidap HIV/AIDS ke bayi yang dikandungnya ketika di dalam rahim atau saat persalinan atau ketika menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Celakanya, dalam berita disebutkan HIV/AIDS pada anak-anak: Kebanyakan dari mereka terserang penyakit yang menyerang sistem imun tubuh ini karena bawaan dari orangtuanya.

HIV/AIDS bukan penyakit bawaan, tapi (penyakit) menular sehingga bisa dicegah.

Nah, kalau yang dimaksud oleh Kementerian PPPA kasus HIV/AIDS pada anak yaitu pada anak di bawah umur 4 tahun, maka cara menekan kasus baru bukan dengan sosialisasi bahaya HIV/AIDS ke panti asuhan. Penularan bukan karena perilaku seksual anak-anak itu, tapi karena tertular dari ibu yang melahirkan mereka. Dalam  Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017 disebutkan kasus AIDS sejak tahun 1987-Maret 2017 pada usia <1 tahun jumlah kasus 307 dan usia 1-4 tahun ada 1.650 kasus. Sedangkan pada kelompok umur 5-14 dilaporkan 1.042 kasus.

Disebutkan pula ada faktor lain yang menyebabkannya (kasus HIV/AIDS pada anak-pen.)  seperti penggunaan jarum suntik dan prostitusi anak.

Tapi, tidak disebutkan kelompok usia anak-anak yang berisiko tertular HIV/AIDS karena faktor risiko jarum suntik pada penyalahgunan narkoba secara bersama-sama dan prostitusi anak.

Apa iya ada anak-anak di bawah lima tahun yang pakai jarum suntik narkoba?

Begitu juga dengan prostitusi anak, anak umur berapa?

Valentina mengatakan: "Tahun ini kenapa mengambil tema HIV/AIDS karena menjadi program prioritas nasional. Angka HIV/AIDS pada anak setiap tahun semakin naik, bukan semakin turun. Artinya hal ini perlu diwaspadai,"

Kasus HIV/AIDS pada anak kelompok usia berapa?

Kalau pada anak-anak < 1 tahun dan pada usia 1-4 tahun jelas terkait dengan ibu yang melahirkan mereka. Begitu juga dengan kelompok usia 5-14 tahun juga kemungkinan tertular ketika bayi dari ibu mereka.

Disebutkan juga: Dirinya (Valentina-pen.) juga menjelaskan bila Kementerian PPPA terus berupaya untuk menekan angka kasus HIV/AIDS pada usia anak. Kegiatan sosialisasi akan terus dilakukan dan penyampaian informasi untuk anak diusahakan untuk dikemas secara berbeda. Salah satunya dengan lagu dan iringan musik agar anak-anak lebih mudah menyerap informasi.

Lagi-lagi tidak jelas anak usia berapa yang jadi sasaran sosialisasi untuk menekan angka kasus HIV/AIDS pada usia anak?

Valentina mengatakan: "Perempuan itu seharusnya berani menanyakan kepada pasangannya apakah dirinya pernah melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Namun di budaya kita hal itu belum bisa."

Kalau begitu sasaran sosialisasi bukan anak-anak balita dan perempuan, tapi laki-laki dewasa dalam hal ini suami. Selama ini yang jadi 'sasaran tembak' sosialisasi HIV/AIDS hanya kaum perempuan. Tes HIV pun diharuskan bagi perempuan yang hamil. Mengapa bukan suami perempuan yang duluan tes HIV? Perempuan jadi pelengkap-penderita sementara laki-laki jadi penyebab penderitaan perempuan.

Ada lagi pernyataan: Maka dari itu, dirinya juga berharap pemerintah membuat kebijakan agar pasangan yang hendak menikah melakukan pemeriksaan HIV/AIDS dahulu. Pemeriksaan ini bisa meminimalkan risiko seorang anak terkena penyakit tersebut karena bawaan dari orangtua.

Biar pun hasil tes HIV pada calon mempelai negatif, itu tidak bisa jadi jaminan suami akan HIV-negatif sepanjang hidupnya, karena: Apakah ada jaminan laki-laki yang beristri otomatis tidak akan pernah lagi melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain di dalam atau di luar nikah?

Tentu saja tidak ada jaminan. Bahkan, surat keterangan 'bebas AIDS' yang dimiliki suami akan dia jadikan 'senjata' ketika istrinya terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan mengatakan istrinya selingkuh. Runyam, 'kan.

Untuk menekan kasus baru pada bayi adalah dengan membuat regulasi yang memaksa suami perempuan yang hamil menjalani konseling HIV/AIDS yang dilanjutkan dengan tes HIV jika perilak seksual suami berisiko tertular HIV. Tidak perlu sosialisasi ke panti asuhan karena kuncinya bukan pada anak-anak, tapi pada orang tua.

Di beberapa negara di Asia Pasifik menjalankan program survailans tes HIV terhadap ibu hamil sehingga bisa dijalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun