Berita-berita tentang desakan banyak kalangan agar Pemkab Pangadaran dan DPRD Pangandaran, Jawa Barat, segera menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak ada gambaran tentang isi perda itu kelak.
Hal itu jadi penting karena di wilayah Provinsi Jawa Barat sudah ada 14 peraturan terkait HIV/AIDS yaitu: 1 peraturan gubernur dan 13 perda kabupaten dan kota. Â
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Barat 29.939 yang terdiri atas 24.650 HIV dan 5.289 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jabar pada peringkat ke-4 secara nasional dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS.
"Salah satu instrumen penanganan kasus HIV/AIDS berbentuk Peraturan Daerah (Perda) terus diupayakan supaya sinergitas antar stakeholder, pemerintah atau swasta bisa terjalin dengan baik," ungkap Ketua Yayasan Matahati Agus Abdullah (radartasikmalaya.com, 19/5-2018).
Celakanya, dalam berita-berita tsb. tidak ada gambaran riil berupa jumlah kasus HIV/AIDS, kematian pengidap HIV/AIDS, penyakit penyebab kematian pengidap HIV/AIDS, faktor risiko, dll. Data ini perlu untuk memberikan gambaran seberapa penting Perda AIDS diterbitkan.
Kalau saja Agus mau belajar dari daerah-daerah yang sudah mempunyai Perda AIDS tentulah pernyataannya tidak hanya sebatas mengenai sinergitas karena yang jadi masalah besar adalah program riil yang bisa menurunkan, sekali lagi hanya menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Pangandaran.
Adalah hal yang mustahil menghentikan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Kalau pun Pemkab Pangandaran dan DPRD Pangandaran mengatakan bahwa di Pangandaran tidak ada PSK karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang diatur dengan regulasi, tapi transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung tentu saja ada.
Secara empiris ada dua tipe PSK, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Kalau pun di Pangandaran tidak ada PSK tipe nomor (1), tapi apakah Pemkab Pangandara dan DRPD Pangandaran bisa menjamin bahwa PSK tipe nomor (2) tidak ada di Pangandaran?