Agaknya, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan orang-orang yang membela anak di bawah umur yang melakukan perbuatan melawan hukum (pidana) tidak melihat dampak buruk dari kelakuan mereka di kemudian hari. Bisa saja kelak ada remaja lain yang melakukan hal yang sama dengan harapan dimaafkan dan kasusnya dihentikan. Selain itu bisa juga ada kalangan dewasa yang memanfaatkan anak-anak di bawah umur untuk melakukan tindak kriminalitas.
Ketua KPAI, Susanto, mengajak masyarakat melihat kasus yang melibatkan S secara utuh karena bermotifkan bercanda dengan lima teman sekolahnya. S, 16 tahun, yang menghina dan mengancam Presiden Joko Widodo (Jokowi) menurut Susanto cukup minta maaf saja (jambi.antaranews.com, 24/5-2018).
Astaga. S menghina dan mengancam lambang Negara yang dalam tatanan sosial, moral, agama dan hukum merupakan perbuatan yang dilarang. Tidak ada pengecualian terhadap perbuatan yang melawan norma, hukum, dan agama selama dilakukan orang yang waras. Hukum dan agama hanya mengenal pengecualian terhadap orang gila.
Maka, amatlah tepat pernyataan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi (dikenal sebagai Kak Seto): "Tindakan remaja S tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dan tetap harus mendapatkan sanksi. Namun sanksinya harus edukatif dan mendatangkan efek jera." (liputan6.com. 24/5-2018).
Bukan hanya sebatas jera, tapi ada sanksi hukum yang tegas sebagai konsekuensi perbuatan S terhadap lambang Negara. Boleh-boleh saja kalangan the haters membela S dan orang-orang yang lain yang menghina Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana, tapi dari aspek norma, moral, agama dan hukum hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum. Bukan hanya terhadap Kepala Negara, tapi kepada setiap orang pun penghinaan merupakan perbuatna yang melawan hukum.
Kalau memang mau mengritik, ya tidak harus dengan caci-maki dan fitnah. Bagi orang-orang yang memakai nalar kritik dilancarkan tanpa harus membabi-buta dengan cara tidak 'pake otak' (Baca juga: Melancarkan Kritik Melalui Tulisan Bukan dengan Mencaci-maki, Mengejek dan Menghina dan Daripada Sebarkan Hoaks, Lebih Baik Sebarkan Realitas Sosial).
Di Makassar, Sulsel, seorang pelajar berusia 14 tahun sudah berani menghina polisi melalui status di Facebook karena polisi bertindak tegas membubarkan balapan liar. Nah, KPAI apaka langkah Satuan Sabhara Polrestabes Makassar pantas dihina?
Syukurlah polisi sudah menangkap pelajar yang lantang dan lancang itu. Presiden Jokowi, Menkominfo Rudiantara dan banyak kalangan yang selalu mengingatkan agar arir memakai media sosial. Satu kaki pengguna media sosia ada di penjara (Baca juga: Satu Kaki Pengguna Madsos Ada di Bui).
Peribahasa "mulutmu harimaumu" sepadan dengan "medsosmu harimaumu". Begitu mudahnya menyebarkan caci-maki, ejekan, fitnah, ujaran kebencian dan hoaks. Hanya dengan satu jari bisa disebarkan ke ratusan bahan ribuan orang. Dalam sebuah diskusi dengan Kompasianer (nitizen yang tergabung di Kompasiana.com), Rudiantara mengingatkan betapa rendah literasi media di banyak orang di Indonesia (Baca juga: Katakan Tidak untuk Situs Porno!).
Literasi yang rendah dan pola pikir yang tidak rasional mendorong seseorang menyebarkan caci-maki, ejekan, fitnah, ujaran kebencian dan hoax. Celakanya, ada pula orang-orang yang membela mereka dengan mengatakan hal itu sebagai kebebasan berekspresi. Astaga. Tuhan pun menyebutkan bahwa fintah lebih kejam dari pembunuhan, tapi ada saja yang mengatakan itu sebagai kebebasan berekspresi (Baca juga: Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?)
Selama anak-anak di bawah umur tidak diberi sanksi yang tegas kejadain serupa akan terus berulang. Sudah beberapa orang masinis dan penumpang kereta api (KA) yang cacat, al. buta, karena kena lemparan batu yang disebut karena ulah kenakalan remaja (Baca juga: Pidana Sosial bagi Anak-anak dan Remaja Pelempar Kereta Api).