Peneliti di Cina dan Jepang menemukan fakta bahwa kandungan protein, zat besi dan seng dalam beras kian turun kalau padi ditanam di lingkungan dengan kadar CO2 (karbon dioksida) yang tinggi. Hal ini dilaporkan "ABC News" (24/5-2018),
Temuan itu jadi penting artinya bagi dunia karena nasi yang berasal dari beras jadi makanan pokok dua miliar penduduk Bumi, seperti di negeri kita, Indonesia. Diversifikasi pangan yang terus-menerus dikumandangkan bagikan 'anjing menggonggong kafilah berlalu'. Anjuran terus, tapi makan nasi pun terus.
Karbon dioksida (CO2) atau zat asam arang adalah sejenis senyawa kimia yang dihasilkan oleh hewan, tumbuh-tumbuhan, jamur, dan mikroorganisme pada proses fotosintetis (proses biokimia dalam pembentukan zat makanan, seperti karbohidrat).
Melalui demplot selebar 17 meter persegi sebagai persawahan di Cina dan Jepang, peneliti memompakan CO2 yang disimulasikan sebagai konsentrasi CO2 yang diperkirakan akan terjadi 50 tahun ke depan.
Hasilnya? Seperti dipublikasikan di jurnal "Science Advances" yang dikutup "ABC News" kadar protein padi pada varietas yang diuji di demplot turun 10 persen, seng turun 8 persen, dan zat besi turun 5 persen. Bukan itu saja. Ternyata kandungan vitamin B1, B2, B5, dan B9 juga turun yang berbeda pada varietas yang diuji.
Salah seorang peneliti, Kazuhiko Kobayashi, Universitas Tokyo, mengataksan: "Beberapa varietas beras menunjukkan penurunan yang sangat tajam, sementara varietas lainnya mengandung lebih sedikit vitamin." Â
Tentu saja ini kabar buruk bagi penduduk Bumi karena beras menjadi sumber nutrisi utama untuk mendapatkan protein dan vitamin juga mineral, tapi kandungannya pada beras justru turun. Itu artinya, seperti diingatkan tim penelilti, perubahan nutrisi pada beras berdampak buruk terhadap kesehatan, terutama di negara-negara miskin karena penduduknya tidak bisa membeli makanan lain sebagai sumber nutrisi.
Dalam kaitan kandungan nutrisi pada beras, Prof Dr Ir Rindit Pambayun, MP, Guru Besar Ilmu Pangan Uniersitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, mengatakan bahwa cara mencuci beras yang merugikan itu perlu diperbaiki. Bahkan, Prof Rindit sampai pada kesimpulan tidak perlu mencuci beras sebelum dimasak agar kandungan vitamin B1, B2, B5, dan B9 yang ada di kulit ari beras tidak hilang. "Ya, kita canangkanlah 'Gerakan Nasional Tidak Mencuci Beras'," kata Prof Rindit (Baca juga: Gerakan Nasional Tidak Mencuci Beras).
Ketika konsentrasi kandungan CO2 di areal persawahan di Nusantara naik, tentulah akan terjadi penurunan kadar nutrisi pada beras, seperti yang temukan peneliti di Cina dan Jepang. Untuk itu perlu juga ilmuwan Indonesia menguji hasil penelitian di Cina dan Jepang itu. Dengan makan nasi dari beras dengan kandungan nutrisi yang baik pun masih saja terjadi 'kurang gizi', apalagi kandungan nutrisi, vitamin dan protein nasi turun tentulah dampaknya terhadap kesehatan akan lebih besar.
Secara teoritis, seperti dikatakan oleh Direktur Centre of Excellence for Translational Photosynthesis ARC, Profesor Bob Furbank, tingkat kadungan CO2 di udara baik untuk pertumbuhan, tapi hasil penelitian ilmuwan di Cina dan Jepang itu mengatakan sebaliknya. Profesor Furbank mengatakan ada efek negatif dari perubahan iklim, seperti kemarau yang lebih sering dan suhu yang tinggi, menghilangkan manfaat positif CO2 dari perspektif fotosintesis. Laporan penelitian di Cina dan Jepang itu menunjukkan efek yang merugikan pada kualitas biji padi dalam kandungan CO2 yang tinggiÂ
Dalam kaitan itulah Profesor Furbank, Australian National University, meminta peneliti di Cina dan Jepang itu mempelajari dan membiakkan varietas padi yang bisa menghasilkan kualitas nutrisi, bukan kuantitas, dalam lingkungan dengan kadar CO2 yang tinggi.
Profesor Furbank mengatakan pihaknya mengembakan varietas padi untuk meningkatkan hasil panen. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah persediaan bahan makanan bagi populasi global yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok. "Namun, harus diingat bahwa kualitas nutrisi dari makanan itu tidak kalah pentingnya," kata Prof Furbank mengingatkan. (Sumber: ABC News, id.wikipedia.org dan sumber-sumber lain)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H