"Mengerikan, Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banjar (Kalsel-pen.) Capai 121 Orang." Ini judul berita di banjarmasin.tribunnews.com (7/5-2018).
Kalau saja wartawan atau redaktur yang menulis judul berita ini memahami epidemi HIV/AIDS dengan benar, maka judul berita ini sangat-sangat memalukan.
Hak itu terjadi al. karena pelatihan cara penulisan berita AIDS yang berempati sudah tidak ada lagi. Tahun 1990-an sampai awal 2000-an masih ada donor yang memberikan 'sedekah' (baca: hibah atau grant) untuk pelatihan wartawan. Misalnya, LP3Y Yogyakarta yang didukung oleh The Ford Foundation. Ada lagi dana dari AusAID. Tapi, sejak Indonesia jadi anggota G-20 di masa kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia 'haram' menerima 'sedekah' yang membuat donor mengalihkan bantuan ke Afrika.
Celakanya, dana pemerintah tidak ada alokasi untuk meningkatkan kemampuan wartawan dalam menulis berita HIV/AIDS agar jadi sumber informasi yang akurat sebagai pencerahan bagi masyarakat.
Pemerintah boleh-boleh saja mengabaikan peran media dalam penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, perlu diingat salah satu faktor yang mendorong keberhasilan Thailand menanggulangi HIV/AIDS sampai kasusnya lebih kecil dari Indonesia justru karena sosialisasi informasi melalui media massa. Ada lima program yang dijalankan Thailand dengan menempatkan media massa di urutan pertama dan kondom di urutan ke lima (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).
Terbalik dengan Indonesia yang menjadikan kondom di urutan pertama sehingga timbul penolakan besar-besaran karena disseminasi informasi yang komprehensif melalui media massa tidak jalan.
Kasihan melihat pemahaman wartawan atau redaktur yang bikin judul berita ini. Bisa jadi pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS ada di titik nadir.
Kok bisa? Ya, bisalah karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (Lihat gambar utama): Jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Kalau saja wartawan dan redaktur yang menulis judul berita itu memahami fenomena gunugn es pada epdemi HIV, tentulah judul berita bukan seperti itu, tapi seperti ini (sebagai contoh): Mengerikan, Warga Pengidap AIDS yang Tidak Terdeteksi Jadi Penyebar HIV/AIDS.
Epidemi HIV/AIDS sudah ada di Indonesia sejak April 1987 seperti yang diakui pemerintah (Baca juga: Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?). Tapi, informasi HIV/AIDS tetap 'jalan di tempat' bahkan kian mundur. Banyak kalangan yang menyampaikan informasi HIV/AIDS dengan balutan moral.Â
Belakangan ini instansi dan institusi terkait AIDS, seperti Dinkes (Dinas Kesehatan) dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) mengedepankan isu LGBT. Ini bermuatan moral yang justru kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS (Baca juga: Pers Meliput AIDS, Syaiful W Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Soalnya, yang potensial menyebarkan HIV di masyarakat adalah laki-laki heteroseksual karena mereka ini punya pasangan tetap (istri), bahkan ada yang beristri lebih dari satu. Ini terbukti dari jumlah ibu rumah tangga dan bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Dengan mengumbar LGBT beralut moral yang juga didukung oleh media massa dan media online, isu utama dalam epidemi HIV/AIDS jadi hilang yaitu laki-laki heteroseksual.
Survei Kemenkes tahun 2012 di beberapa kota (pelabuhan dan perbatasan) di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki pelanggan tetap 230.000 pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata. Dari jumlah ini 4,9 juta mempunyai istri (antarabali.com, 9/4-2013). Sedangkan jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dari 1987-September 2015 berjumlah 9.096 (BBC Indonesia, 1/12-2015).
Terkait dengan LGBT, belum ada kasus HIV/AIDS dilaporkan dengan faktor risiko lesbian. Gay dan biseksual tidak kasat mata sehingga tidak semudah yang dibayangkan menyebutkan orientasi seksual seseorang berdasarkan fisiknya. Yang kasat mata hanya transgender (waria) yang dalam pelaporan kasus HIV/AIDS masuk kategori homoseksual.
Sangatlah sulit mengharapkan perubahan perilaku seksual seseorang melalui informasi yang disebarkan media massa dan media online selama informasi HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral karena yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H